Jumat, 29 Juni 2012

Puisi M. Nahdiansyah Abdi sebagai “Pelepas Dahaga”


(Dimuat di Radar Banjarmasin, Minggu, 29 Juli 2007)

 Oleh Fitri Hayati*


Puisi merupakan salah satu karya sastra yang mampu menyuguhkan segelas air sebagai penyejuk di tengah dahaga. Puisi yang baik adalah puisi yang mampu memberikan efek atau dampak kecanduan bagi pembacanya. Namun bukan hanya nilai estetik saja yang ditekankan pada efek “kecanduan” di sini, melainkan karena puisi itu mampu memberikan pencerahan akan nilai-nilai yang mampu membawa pembacanya kepada kebaikan. Puisi-puisi karya M. Nahdianyah Abdi pada bukunya yang bertajuk Jejak-jejak Angin, yang diterbitkan oleh Olongia Yogyakarta, yang terbit pada bulan April tahun 2007, merupakan salah satu kumpulan karya-karya yang kemungkinan besar mempu memberikan efek “kecanduan” tersebut kepada pembacanya. Karena M. Nahdiansyah Abdi mampu menawarkan semacam alur yang sepertinya mampu menyeret masuk pembacanya ke dalam dunia yang berbeda melalui diksi yang digunakannya, meski tema yang dihadirkan kurang begitu berbekas di dalam kehidupan para pembaca.


Dari 45 puisi karya Nahdiansyah Abdi yang terdapat dalam buku yang bertajuk Jejak-jejak Angin tersebut, puisi yang berjudul “Sudah”, “falling on chair laughing”, dan “Banyak Jalan Meninggalkan Roma”, adalah puisi yang akan menjadi sorotan dalam penulisan kali ini. Penganalisisan puisi tersebut didasarkan pada kesesuaian unsur tema, diksi, rima, serta gaya bahasa. Tema adalah gagasan utama dari sebuah puisi, baik tersirat maupun tersurat. Diksi adalah pilihan kata yang digunakan penyair dalam mengungkapkan perasaannya hingga sesuai dengan tema puisi itu. Rima adalah unsur pengindah penguat puisi dalam bentuk pengulangan bunyi, baik di awal, tengah, maupun di akhir. Gaya bahasa yakni cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan daya bayang dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang, sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak dikemukakannya.
Puisi yang berjudul “Sudah” bertemakan tentang kesadaran seseorang atas peristiwa yang dulu pernah dialaminya.

SUDAH

Ada banyak hal yang nggak lucu
tapi membuatku tertawa
yang membuat topiku terhuyung-huyung
dan mawar di genggamanku berkurang warnanya

Hanya terjadi sekali dalam hidup ini
tidak dijumpai dalam kehidupan lain. Yaitu
aku tidak lagi terasing
Hanya karena
tak memiliki rasa cinta

            Pengalaman yang dimaksudkan dalam puisi tersebut mungkin adalah tentang suatu hubungan asmara yang mana salah satu pihak tidak sungguh-sungguh mencintai pasangannya. Sehingga dia menganggap hubungan tersebut seperti sebuah lelucon. Namun akhirnya dia sadar dan menyudahi saja hubungan yang seperti lelucon tersebut, serta tidak akan mengulanginya lagi dalam kehidupan yang berikutnya. Puisi ini memiliki tema yang cukup luas, sehingga penafsirannya juga dapat diperluas lagi, bergantung dari pemahaman dan pengalaman masing-masing pembacanya. Puisi di atas menggunakan diksi yang lugas, menarik, dan tidak menggunakan ornamen-ornamen yang berlebihan. Baik itu gaya bahasanya, maupun rimanya yang pas.
            Puisi yang berjudul “Falling on Chair Laughing” sepertinya bertemakan tentang keangkuhan seseorang yang tidak menyadari kalau kebahagiaan di dunia ini hanyalah sesaat. Sehingga dia tidak memanfaatkan kejayaan hidupnya dengan sebaik-baiknya pada jalan kebajikan.

FALLING ON CHAIR LAUGHING

Tertawa hingga jatuh dari kursi
demikian puisi ini dimulai
Ditujukan buat sampeyan yang rada telmi
yang suka keenakan duduk di kursi

Nanti sama-sama kita tarik pelatuknya
demi tulusnya lelucon ini
Ciuman Tuhan bertubi-tubi mengenai
yang kita baui cuma tai

Goncangan dari luar
kelasnya jauh di bawah
dibanding dengan goncangan yang dibikin sendiri

Diri kita murni terbuat dari lelucon
Ini seperti sumur yang tak mati-mati
Tertawalah ...
Tertawa hingga jatuh dari kursi

 Penggunaan gaya bahasa, diksi, serta rima dari puisi “Falling on Chair Laughing” sangat menarik dan segar. Dari gaya bahasanya yang menggunakan metafor-metafor seperti pada kalimat:

Ciuman Tuhan bertubi-tubi mengenai
yang kita baui cuma tai

kata ciuman tersebut bisa berarti teguran dari Tuhan yang tidak dirasakannya sedikitpun. Penggunaan diksi dalam puisi itu sepertinya mampu menambah kenikmatan dan keindahan dalam penyampaian suara yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Rima yang indah dan harmonis terdapat di awal, serta paling banyak di akhir kalimat.
            Berbeda dengan analisis tentang dua buah puisi sebelumnya, puisi yang berjudul “Banyak Jalan Meninggalkan Roma” menyisakan secercah kebingungan setelah membacanya. Mungkin baik itu yang berhubungan dengan kesesuaian isi dengan tema, pemilihan diksi yang kurang menggigit, serta rima yang kurang terdengar harmoninya.

Orang kita mengenal bahasa kasar dan bahasa halus
tapi apa artinya itu bagi asmara
Tiap orang lahir sebagai pemberontak
sebelum menempati tempat yang mapan      

            Bait pertama puisi tersebut menggunakan perumpamaan tentang rasa cinta yang tidak dapat dilihat dan diukur melalui penggunaan bahasa oleh seseorang, karena cara pengungkapan atas rasa cinta bagi setiap orang adalah sangat relatif. Penafsiran tersebut bila dikaitkan dengan kalimat berikutnya adalah sah-sah saja. Namun, makna yang tersirat di dalamnya terasa kabur, karena sulitnya menemukan keyword dalam bait puisi tersebut. Kedudukan kata per katanya terasa datar dan tidak terlihat adanya pengkhususan atau penyempitan makna yang dapat diambil. Pada bait kedua berbunyi:

Terlalu banyak perumpamaan tentang hidup
sampai-sampai tak satu pun yang bisa diingat
kecuali lelucon ini:
Konon, iblis pernah menyamar jadi bebek
untuk menggodaku makan pisang ambon

Semoga matahari terbit sambil berkacak pinggang
semoga dosa cepat mengisi hari-harimu yang gemetar
dan kemudian, kuakhiri kemarahan yang sepele ini
seperti kilat mencolek punggungku
seperti dalam pelayaran yang terlalu diada-ada

            Isi dari puisi tersebut cenderung lari-lari dalam pengungkapan makna pada kalimat per kalimat, bait per bait. Karena kesamaran itu, suara ataupun pesan yang ingin disampaikan oleh penyair kemungkinan akan menjadi sulit untuk bisa sampai kepada pembacanya. Secara keseluruhan, rima pada puisi tersebut juga terasa kurang, sehingga dalam pengucapannya kurang terasa letupan-letupan bunyinya.
            Secara keseluruhan, puisi-puisi Nahdiansyah Abdi dalam Jejak-jejak Angin tersebut memiliki mind and soul yang unik. Cara penyampaian yang menggunakan metafor-metafor lugas menghasilkan puisi yang berbeda dan orisinil. Hanya ada sebagian kecil puisi saja yang terasa sulit untuk dinikmati dan diresapi maknanya. Sebab terdapat kekurangan dalam hal koherensinya. Namun terlepas dari semua itu, saya ucapkan salut kepada Mas Nahdiansyah Abdi yang walaupun sebagai pemula ternyata telah menciptakan puisi yang berkualitas dan mungkin benar-benar sebagai salah satu pelepas dahaga akan kebutuhan sastra para pembacanya.

* Mahasiswa PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat

Cuplikan korannya:

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar