(Dimuat di Radar Banjarmasin, Minggu, 29
Juli 2007)
Oleh Fitri Hayati*
Puisi
merupakan salah satu karya sastra yang mampu menyuguhkan segelas air sebagai
penyejuk di tengah dahaga. Puisi yang baik adalah puisi yang mampu memberikan
efek atau dampak kecanduan bagi pembacanya. Namun bukan hanya nilai estetik
saja yang ditekankan pada efek “kecanduan” di sini, melainkan karena puisi itu
mampu memberikan pencerahan akan nilai-nilai yang mampu membawa pembacanya
kepada kebaikan. Puisi-puisi karya M. Nahdianyah Abdi pada bukunya yang
bertajuk Jejak-jejak Angin, yang
diterbitkan oleh Olongia Yogyakarta, yang terbit pada bulan April tahun 2007,
merupakan salah satu kumpulan karya-karya yang kemungkinan besar mempu
memberikan efek “kecanduan” tersebut kepada pembacanya. Karena M. Nahdiansyah
Abdi mampu menawarkan semacam alur yang sepertinya mampu menyeret masuk
pembacanya ke dalam dunia yang berbeda melalui diksi yang digunakannya, meski
tema yang dihadirkan kurang begitu berbekas di dalam kehidupan para pembaca.
Dari 45
puisi karya Nahdiansyah Abdi yang terdapat dalam buku yang bertajuk Jejak-jejak Angin tersebut, puisi yang
berjudul “Sudah”, “falling on chair laughing”, dan “Banyak Jalan Meninggalkan Roma”,
adalah puisi yang akan menjadi sorotan dalam penulisan kali ini. Penganalisisan
puisi tersebut didasarkan pada kesesuaian unsur tema, diksi, rima, serta gaya
bahasa. Tema adalah gagasan utama dari sebuah puisi, baik tersirat maupun
tersurat. Diksi adalah pilihan kata yang digunakan penyair dalam mengungkapkan
perasaannya hingga sesuai dengan tema puisi itu. Rima adalah unsur pengindah
penguat puisi dalam bentuk pengulangan bunyi, baik di awal, tengah, maupun di
akhir. Gaya bahasa yakni cara yang dipergunakan oleh penyair untuk
membangkitkan dan menciptakan daya bayang dengan mempergunakan gaya bahasa,
gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang, sehingga makin jelas makna
atau lukisan yang hendak dikemukakannya.
Puisi yang
berjudul “Sudah” bertemakan tentang kesadaran seseorang atas peristiwa yang
dulu pernah dialaminya.
SUDAH
Ada banyak hal yang nggak lucu
tapi membuatku tertawa
yang membuat topiku terhuyung-huyung
dan mawar di genggamanku berkurang warnanya
Hanya terjadi sekali dalam hidup ini
tidak dijumpai dalam kehidupan lain. Yaitu
aku tidak lagi terasing
Hanya karena
tak memiliki rasa cinta
Pengalaman yang
dimaksudkan dalam puisi tersebut mungkin adalah tentang suatu hubungan asmara
yang mana salah satu pihak tidak sungguh-sungguh mencintai pasangannya.
Sehingga dia menganggap hubungan tersebut seperti sebuah lelucon. Namun
akhirnya dia sadar dan menyudahi saja hubungan yang seperti lelucon tersebut,
serta tidak akan mengulanginya lagi dalam kehidupan yang berikutnya. Puisi ini
memiliki tema yang cukup luas, sehingga penafsirannya juga dapat diperluas
lagi, bergantung dari pemahaman dan pengalaman masing-masing pembacanya. Puisi
di atas menggunakan diksi yang lugas, menarik, dan tidak menggunakan
ornamen-ornamen yang berlebihan. Baik itu gaya bahasanya, maupun rimanya yang
pas.
Puisi yang berjudul
“Falling on Chair Laughing” sepertinya bertemakan tentang keangkuhan seseorang
yang tidak menyadari kalau kebahagiaan di dunia ini hanyalah sesaat. Sehingga
dia tidak memanfaatkan kejayaan hidupnya dengan sebaik-baiknya pada jalan
kebajikan.
FALLING ON CHAIR LAUGHING
Tertawa hingga jatuh dari kursi
demikian puisi ini dimulai
Ditujukan buat sampeyan
yang rada telmi
yang suka keenakan duduk di kursi
Nanti sama-sama kita tarik pelatuknya
demi tulusnya lelucon ini
Ciuman Tuhan bertubi-tubi mengenai
yang kita baui cuma tai
Goncangan dari luar
kelasnya jauh di bawah
dibanding dengan goncangan yang dibikin sendiri
Diri kita murni terbuat dari lelucon
Ini seperti sumur yang tak mati-mati
Tertawalah ...
Tertawa hingga jatuh dari kursi
Penggunaan gaya bahasa, diksi, serta rima dari
puisi “Falling on Chair Laughing” sangat menarik dan segar. Dari gaya bahasanya
yang menggunakan metafor-metafor seperti pada kalimat:
Ciuman Tuhan bertubi-tubi
mengenai
yang kita baui cuma tai
kata ciuman
tersebut bisa berarti teguran dari Tuhan yang tidak dirasakannya sedikitpun.
Penggunaan diksi dalam puisi itu sepertinya mampu menambah kenikmatan dan
keindahan dalam penyampaian suara yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Rima
yang indah dan harmonis terdapat di awal, serta paling banyak di akhir kalimat.
Berbeda dengan analisis tentang dua
buah puisi sebelumnya, puisi yang berjudul “Banyak Jalan Meninggalkan Roma”
menyisakan secercah kebingungan setelah membacanya. Mungkin baik itu yang
berhubungan dengan kesesuaian isi dengan tema, pemilihan diksi yang kurang
menggigit, serta rima yang kurang terdengar harmoninya.
Orang kita mengenal bahasa
kasar dan bahasa halus
tapi apa artinya itu bagi
asmara
Tiap orang lahir sebagai
pemberontak
sebelum
menempati tempat yang mapan
Bait pertama puisi tersebut
menggunakan perumpamaan tentang rasa cinta yang tidak dapat dilihat dan diukur
melalui penggunaan bahasa oleh seseorang, karena cara pengungkapan atas rasa
cinta bagi setiap orang adalah sangat relatif. Penafsiran tersebut bila
dikaitkan dengan kalimat berikutnya adalah sah-sah saja. Namun, makna yang
tersirat di dalamnya terasa kabur, karena sulitnya menemukan keyword dalam bait
puisi tersebut. Kedudukan kata per katanya terasa datar dan tidak terlihat
adanya pengkhususan atau penyempitan makna yang dapat diambil. Pada bait kedua
berbunyi:
Terlalu banyak perumpamaan
tentang hidup
sampai-sampai tak satu pun
yang bisa diingat
kecuali lelucon ini:
Konon, iblis pernah menyamar
jadi bebek
untuk menggodaku makan
pisang ambon
Semoga matahari terbit
sambil berkacak pinggang
semoga dosa cepat mengisi
hari-harimu yang gemetar
dan kemudian, kuakhiri
kemarahan yang sepele ini
seperti kilat mencolek
punggungku
seperti dalam pelayaran yang
terlalu diada-ada
Isi dari puisi tersebut cenderung
lari-lari dalam pengungkapan makna pada kalimat per kalimat, bait per bait.
Karena kesamaran itu, suara ataupun pesan yang ingin disampaikan oleh penyair
kemungkinan akan menjadi sulit untuk bisa sampai kepada pembacanya. Secara
keseluruhan, rima pada puisi tersebut juga terasa kurang, sehingga dalam
pengucapannya kurang terasa letupan-letupan bunyinya.
Secara keseluruhan, puisi-puisi
Nahdiansyah Abdi dalam Jejak-jejak Angin
tersebut memiliki mind and soul yang
unik. Cara penyampaian yang menggunakan metafor-metafor lugas menghasilkan
puisi yang berbeda dan orisinil. Hanya ada sebagian kecil puisi saja yang
terasa sulit untuk dinikmati dan diresapi maknanya. Sebab terdapat kekurangan
dalam hal koherensinya. Namun terlepas dari semua itu, saya ucapkan salut
kepada Mas Nahdiansyah Abdi yang walaupun sebagai pemula ternyata telah
menciptakan puisi yang berkualitas dan mungkin benar-benar sebagai salah satu
pelepas dahaga akan kebutuhan sastra para pembacanya.
* Mahasiswa PBSID FKIP Universitas Lambung
Mangkurat
Cuplikan korannya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar