Jumat, 29 Juni 2012

Konkretisasi Makna “Ranjang Kematian”


(Dimuat di koran Media Kalimantan, 08 Mei 2010)
oleh M. Rizali Ramadhan

            Puisi adalah salah satu jenis sastra. Memahamai makna puisi tidaklah mudah, lebih-ebih pada waktu sekarang puisi makin kompleks dan “aneh”. Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi pemberian makna itu tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan semiotik karena karya sastra merupakan sistem tanda. Pemaknaan ini istilah aslinya adalah konkretisasi. “Konkretisasi” ini istilah yang dikemukakan oleh Felix Vodicka berasal dari Roman Ingarden, berarti pengkonkretan makna karya sastra atas dasar pembacaan dengan tujuan estetik.

            Puisi harus dipahami sebagai sistem tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Di antara konvensi puisi itu adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Dikemukakan oleh Riffaterre bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang berubah. Akan tetapi, ada satu esensi yang tetap, yaitu puisi itu menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Untuk konkretisasi makna puisi dapat dilaksanakan dengan pembacaan heuristik dan retroaktif atau hermeneutik. Tulisan ini mencoba melakukan upaya konkretisasi makna sajak “Ranjang Kematian” karya M. Nahdiansyah Abdi (dalam Jejak-Jejak Angin, halaman 132).

Di ranjang kematian aku bergurau habis-habisan denganmu
Mati tertawa menertawakan diri sendiri

Aku dan kamu adalah teman sepermainan yang telah melegenda
dengan ranjang sebagai taman bermainnya

Berguling-guling di ranjang
Meloncat-loncat di atas ranjang

Menabur pilu di sepanjang ranjang

Tapi akhirnya ranjang pun karam

Dan jiwaku berkeliaran pada kangen


 Pembacaan Heuristik
            Dalam pembacaan heuristik sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa yang sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Sajak dibaca secara linier sebagai dibaca menurut struktur normatif bahasa. Pada umumnya, bahasa puisi menyimpang dari penggunaan bahasa biasa (bahasa normatif). Bahasa puisi merupakan deotomatisasi atau defamiliarisasi: ketidakotomatisan atau ketidakbiasaan. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa dibuat biasa atau harus dinaturalisasi sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu, kata-kata diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas.proses pembacaan puisi Ranjang Kematian diatas dijabarkan sebagai berikut.
            Pada bait pertama terdiri dari dua baris. Baris pertama “Di ranjang kematian aku bergurau habis-habisan denganmu” dapat dinaturalisasikan menjadi “Di ranjang kematian aku (sedang bersenda) gurau habis-habisan denganmu”. Baris kedua dinaturalisasi menjadi “Tertawa (terbahak-bahak) (sampai) mati (karena) menertawakan diri sendiri”.
            Bait kedua juga terdiri dari dua baris. Baris pertama dinaturalisasi menjadi “Aku dan kau adalah teman sepermainan yang telah (lama) melegenda”. Baris kedua dinaturalisasi menjadi “dengan ranjang (kematian) sebagai taman (tempat) bermainnya”.
            Bait ketiga terdiri dari dua baris. Baris pertama dinaturalisasi menjadi “(Kita selalu) berguling-guling di ranjang (kematian)”. Baris kedua menjadi “(Kita selalu) meloncat-loncat di atas ranjang (kematian)”.
            Bait keempat, kelima, dan keenam masing-masing hanya terdiri dari satu baris. Pada bait keempat dapat dinaturalisasikan menjadi “(Kita pun sering) menabur pilu di sepanjang ranjang (kematian)”. Bait kelima menjadi “Tetapi akhirnya ranjang (kematian yang kita tempati) pun karam”. Bait terakhir menjadi “Dan jiwaku (pun akhirnya) berkeliaran (tak tentu arah) pada Kangen (pada ranjang kematian)”.
            Pembacaan heuristik ini baru memperjelas arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Makna sastra belum terungkap. Oleh karena itu, harus dibaca lebih lanjut melalui pembacaan retroaktif atau hermeneutik.



Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
            Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran atau pembacaan hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak langsung, dengan kiasan (metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan pengorganisasian ruang teks (tanda-tanda visual).
            Sajak karya M. Nahdiansyah Abdi ini banyak mengandung metafora (kiasan), menyatakan sesuatu dengan menggunakan kata-kata yang lain. Pada bait pertama diterangkan “aku” dan seseorang yang disebut “kamu” sedang bersenda gurang habis-habisan di sebuah tempat yang si ‘aku” sebut dengan ranjang kematian, dan mereka tertawa terbahak-bahak sampai mati karena menertawakan diri mereka sendiri. Frasa ranjang kematian di sini merupakan majas metafora. Ranjang kematian dapat dimaknai sebagai kehidupan memilukan yang dijalani oleh si “aku”. Ranjang itu adalah tempat yang nyaman untuk dipakai beristirahat dan merupakan metafora untuk kehidupan, namun ditambah dengan kata kematian sesuatu yang nyaman tersebut dapat menimbulkan hal yang menyedihkan. Oleh karena itu kehidupan memilukan yang dijalani oleh si “aku” dapat dicontohkan sebagai si “aku” adalah orang yang sedang terbaring sakit. Baris pertama “Di ranjang kematian aku (sedang bersenda) gurau habis-habisan denganmu” mengungkapkan tokoh aku yang sedang berkutat dengan penyakit yang dideritanya. “Kamu” dalam puisi tersebut dapat dimaknai sebagai penyakit. Penyair menggunakan kata bergurau untuk menimbulkan kesan kontradiksi yang dapat meningkatkan nilai estetika dalam puisi.
            Pada baris kedua “Tertawa (terbahak-bahak) (sampai) mati (karena) menertawakan diri sendiri’ mengungkapkan si “aku” yang sedang mencoba untuk tabah menghadapi penyakitnya. Dia berusaha “menertawakan dirinya sendiri” yang bermakna mencoba untuk menghibur diri agar dia tidak terlalu merasa terbebani akan penyakitnya.
            Bait kedua puisi Ranjang Kematian ini diawali dengan “Aku dan kamu adalah teman sepermainan yang telah melegenda”. Dari naturalisasi “Aku dan kau adalah teman sepermainan yang telah (lama) melegenda” terungkap bahwa si “aku” telah lama bergelut dengan penyakit yang dideritanya. Dari frasa teman sepermainan penyair menyiratkan bahwa si “aku” tersebut hidup dengan penyakit tersebut sejak kecil, bahkan ditambah dengan kata-kata yang telah melegenda, mengungkapkan betapa lamanya si “aku” menahan penderitaan akan penyakit yang diidapnya. Baris kedua pada bait kedua ini yaitu “dengan ranjang (kematian) sebagai taman (tempat) bermainnya” menyatakan kehidupan yang memilukan tersebut sudah dianggap sebagai “taman bermain” oleh si “aku”.
            Bait ketiga dan keempat memiliki esensi makna yang hampir sama. “(Kita selalu) berguling-guling di ranjang (kematian)”, “(Kita selalu) meloncat-loncat di atas ranjang (kematian)”, dan “(Kita pun sering) menabur pilu di sepanjang ranjang (kematian)” mengungkapkan hari-hari yang dijalani oleh si ‘aku” dalam menjalani kehidupannya. Dari frasa menabur pilu tersirat bahwa di sepanjang kehidupan si “aku” yang ada hanyalah kepedihan yang dirasakannya.
            Bait keempat dan kelima dari puisi ini merupakan kesimpulan dari kisah perjalanan hidup si “aku”. “Tetapi akhirnya ranjang (kematian yang kita tempati) pun karam” mengungkapkan bahwa kehidupan yang dijalani si “aku” telah berakhir, terutama dari kata-kata ranjang pun karam. Setelah lama si “aku” merasakan penderitaan akibat penyakit yang dideritanya dan mungkin tan akan pernah sembuh, penyair akhirnya mengakhirinya dengan membuat si “aku” tersebut meninggal. Namun pada bait terakhir muncul paradoks yaitu “Dan jiwaku (pun akhirnya) berkeliaran (tak tentu arah) pada Kangen (pada ranjang kematian)” yang menyatakan bahwa jiwa si “aku”  merindukan kehidupan memilukan yang telah dialaminya. Kemunculan paradoks ini menyiratkan bahwa ada kebahagiaan yang didapat oleh si “aku’ tersebut walaupun dalam keadaan sakit yang berkepanjangan. Tidak ada dinyatakan oleh penyair dalam puisi tersebut apa yang menyebabkan si “aku” kangen pada kehidupannya tersebut.

Matriks atau Kata Kunci
            Untuk “membuka” sajak supaya dapat mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matrix atau kata-kata kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran puisi yang dikonkretisasi.
            Dalam puisi Ranjang Kematian yang menjadi kata kuncinya adalah judul puisi tersebut yaitu ranjang kematian. Ranjang adalah tempat yang nyaman untuk dipakai beristirahat dan merupakan metafora untuk kehidupan. Kematian menyiratkan hal yang menyedihkan. Jika kedua kata itu dipadukan maka dapat mengungkapkan makna kehidupan yang menyedihkan. Puisi ini menceritakan seorang tokoh yang disebutkan oleh penyair si “aku” yang menjalani kehidupan yang menyedihkan. Mungkin kehidupan yang menyedihkan dapat dimaknai dengan berbagai macam hal. Akan tetapi dari kata kematian dapat ditarik makna kehidupan yang menyedihkan yang dapat menyebabkan kematian adalah berupa seseorang yang menderita, baik karena musibah maupun penyakit. Lebih spesifik dapat dimaknai sebagai penyakit karena kata kematian berkolokasi dengan kata ranjang, karena orang yang sakit biasanya identik dengan terbaring di ranjang.
            Secara keseluruhan makna dari puisi tersebut adalah menceritakan tentang kehidupan si “aku” yang sangat menyedihkan karena dia menderita penyakit yang berkepanjangan. Si “aku” telah lama mengidap penyakit tersebut. Pada akhirnya si “aku” pun meninggal dunia. Namun setelah kematiannya si “aku” merasa rindu akan kehidupan menyedihkan yang dijalaninya. Hal tersebut menyiratkan bahwa ada kebahagiaan yang didapat oleh si “aku’ tersebut walaupun dalam keadaan sakit yang berkepanjangan.



______________________
M. Rizali Ramadhan lahir di Banjarmasin pada tanggal 21 April 1989. Peserta kelas Semiotika 2010 di PBSID FKIP Unlam. Salah satu penulis puisi dalam antologi Sehelai Kanvas Sepasang Bola Mata (Tahura Media, 2009)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar