(Dimuat di koran Media Kalimantan, 08 Mei 2010)
oleh M. Rizali Ramadhan
Puisi adalah salah satu jenis
sastra. Memahamai makna puisi tidaklah mudah, lebih-ebih pada waktu sekarang
puisi makin kompleks dan “aneh”. Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai
makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi pemberian makna itu tidak
boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan semiotik karena karya sastra
merupakan sistem tanda. Pemaknaan ini istilah aslinya adalah konkretisasi.
“Konkretisasi” ini istilah yang dikemukakan oleh Felix Vodicka berasal dari
Roman Ingarden, berarti pengkonkretan makna karya sastra atas dasar pembacaan
dengan tujuan estetik.
Puisi harus dipahami sebagai sistem
tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Di antara konvensi puisi itu
adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Dikemukakan oleh Riffaterre bahwa
puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep
estetik yang berubah. Akan tetapi, ada satu esensi yang tetap, yaitu puisi itu
menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu
secara tidak langsung. Untuk konkretisasi makna puisi dapat dilaksanakan dengan
pembacaan heuristik dan retroaktif atau hermeneutik. Tulisan ini mencoba melakukan upaya konkretisasi makna sajak
“Ranjang Kematian” karya M. Nahdiansyah
Abdi (dalam Jejak-Jejak Angin, halaman 132).
Di ranjang
kematian aku bergurau habis-habisan denganmu
Mati
tertawa menertawakan diri sendiri
Aku dan
kamu adalah teman sepermainan yang telah melegenda
dengan
ranjang sebagai taman bermainnya
Berguling-guling
di ranjang
Meloncat-loncat
di atas ranjang
Menabur
pilu di sepanjang ranjang
Tapi
akhirnya ranjang pun karam
Dan jiwaku
berkeliaran pada kangen
Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik sajak
dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa yang sesuai dengan
kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Sajak dibaca secara
linier sebagai dibaca menurut struktur normatif bahasa. Pada umumnya, bahasa
puisi menyimpang dari penggunaan bahasa biasa (bahasa normatif). Bahasa puisi
merupakan deotomatisasi atau defamiliarisasi: ketidakotomatisan atau
ketidakbiasaan. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa
dibuat biasa atau harus dinaturalisasi sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana
perlu, kata-kata diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya
hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas.proses pembacaan puisi Ranjang Kematian diatas dijabarkan
sebagai berikut.
Pada bait pertama terdiri dari dua baris. Baris pertama “Di
ranjang kematian aku bergurau habis-habisan denganmu” dapat dinaturalisasikan
menjadi “Di ranjang kematian aku (sedang bersenda) gurau habis-habisan
denganmu”. Baris kedua dinaturalisasi menjadi “Tertawa (terbahak-bahak)
(sampai) mati (karena) menertawakan diri sendiri”.
Bait kedua juga terdiri dari dua
baris. Baris pertama dinaturalisasi menjadi “Aku dan kau adalah teman
sepermainan yang telah (lama) melegenda”. Baris kedua dinaturalisasi menjadi
“dengan ranjang (kematian) sebagai taman (tempat) bermainnya”.
Bait ketiga terdiri dari dua baris.
Baris pertama dinaturalisasi menjadi “(Kita selalu) berguling-guling di ranjang
(kematian)”. Baris kedua menjadi “(Kita selalu) meloncat-loncat di atas ranjang
(kematian)”.
Bait keempat, kelima, dan keenam masing-masing hanya terdiri
dari satu baris. Pada bait keempat dapat dinaturalisasikan menjadi “(Kita pun
sering) menabur pilu di sepanjang ranjang (kematian)”. Bait kelima menjadi
“Tetapi akhirnya ranjang (kematian yang kita tempati) pun karam”. Bait terakhir
menjadi “Dan jiwaku (pun akhirnya) berkeliaran (tak tentu arah) pada Kangen
(pada ranjang kematian)”.
Pembacaan heuristik ini baru
memperjelas arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Makna sastra
belum terungkap. Oleh karena itu, harus dibaca lebih lanjut melalui pembacaan
retroaktif atau hermeneutik.
Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Pembacaan retroaktif adalah
pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran atau pembacaan
hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra
(puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak langsung, dengan kiasan
(metafora), ambiguitas, kontradiksi, dan pengorganisasian ruang teks
(tanda-tanda visual).
Sajak karya M. Nahdiansyah
Abdi ini banyak mengandung metafora (kiasan), menyatakan sesuatu dengan
menggunakan kata-kata yang lain. Pada bait pertama diterangkan “aku” dan
seseorang yang disebut “kamu” sedang bersenda gurang habis-habisan di sebuah
tempat yang si ‘aku” sebut dengan ranjang kematian, dan mereka tertawa
terbahak-bahak sampai mati karena menertawakan diri mereka sendiri. Frasa ranjang kematian di sini merupakan majas
metafora. Ranjang kematian dapat
dimaknai sebagai kehidupan memilukan yang dijalani oleh si “aku”. Ranjang itu adalah tempat yang nyaman
untuk dipakai beristirahat dan merupakan metafora untuk kehidupan, namun
ditambah dengan kata kematian sesuatu
yang nyaman tersebut dapat menimbulkan hal yang menyedihkan. Oleh karena itu
kehidupan memilukan yang dijalani oleh si “aku” dapat dicontohkan sebagai si
“aku” adalah orang yang sedang terbaring sakit. Baris pertama “Di ranjang
kematian aku (sedang bersenda) gurau habis-habisan denganmu” mengungkapkan
tokoh aku yang sedang berkutat dengan penyakit yang dideritanya. “Kamu” dalam
puisi tersebut dapat dimaknai sebagai penyakit. Penyair menggunakan kata bergurau untuk menimbulkan kesan
kontradiksi yang dapat meningkatkan nilai estetika dalam puisi.
Pada baris kedua “Tertawa
(terbahak-bahak) (sampai) mati (karena) menertawakan diri sendiri’ mengungkapkan
si “aku” yang sedang mencoba untuk tabah menghadapi penyakitnya. Dia berusaha
“menertawakan dirinya sendiri” yang bermakna mencoba untuk menghibur diri agar
dia tidak terlalu merasa terbebani akan penyakitnya.
Bait kedua puisi Ranjang Kematian ini diawali dengan “Aku
dan kamu adalah teman sepermainan yang telah melegenda”. Dari naturalisasi “Aku
dan kau adalah teman sepermainan yang telah (lama) melegenda” terungkap bahwa
si “aku” telah lama bergelut dengan penyakit yang dideritanya. Dari frasa teman sepermainan penyair menyiratkan
bahwa si “aku” tersebut hidup dengan penyakit tersebut sejak kecil, bahkan
ditambah dengan kata-kata yang telah
melegenda, mengungkapkan betapa lamanya si “aku” menahan penderitaan akan
penyakit yang diidapnya. Baris kedua pada bait kedua ini yaitu “dengan ranjang
(kematian) sebagai taman (tempat) bermainnya” menyatakan kehidupan yang
memilukan tersebut sudah dianggap sebagai “taman bermain” oleh si “aku”.
Bait ketiga dan keempat memiliki
esensi makna yang hampir sama. “(Kita selalu) berguling-guling di ranjang
(kematian)”, “(Kita selalu) meloncat-loncat di atas ranjang (kematian)”, dan
“(Kita pun sering) menabur pilu di sepanjang ranjang (kematian)” mengungkapkan
hari-hari yang dijalani oleh si ‘aku” dalam menjalani kehidupannya. Dari frasa menabur pilu tersirat bahwa di sepanjang
kehidupan si “aku” yang ada hanyalah kepedihan yang dirasakannya.
Bait keempat dan kelima dari puisi ini merupakan kesimpulan
dari kisah perjalanan hidup si “aku”. “Tetapi akhirnya ranjang (kematian yang
kita tempati) pun karam” mengungkapkan bahwa kehidupan yang dijalani si “aku”
telah berakhir, terutama dari kata-kata ranjang
pun karam. Setelah lama si “aku” merasakan penderitaan akibat penyakit yang
dideritanya dan mungkin tan akan pernah sembuh, penyair akhirnya mengakhirinya
dengan membuat si “aku” tersebut meninggal. Namun pada bait terakhir muncul
paradoks yaitu “Dan jiwaku (pun akhirnya) berkeliaran (tak tentu arah) pada
Kangen (pada ranjang kematian)” yang menyatakan bahwa jiwa si “aku” merindukan kehidupan memilukan yang telah
dialaminya. Kemunculan paradoks ini menyiratkan bahwa ada kebahagiaan yang
didapat oleh si “aku’ tersebut walaupun dalam keadaan sakit yang
berkepanjangan. Tidak ada dinyatakan oleh penyair dalam puisi tersebut apa yang
menyebabkan si “aku” kangen pada kehidupannya tersebut.
Matriks atau Kata Kunci
Untuk “membuka” sajak supaya dapat
mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi, haruslah dicari matrix atau kata-kata
kuncinya. Kata-kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran puisi yang
dikonkretisasi.
Dalam puisi Ranjang Kematian yang
menjadi kata kuncinya adalah judul puisi tersebut yaitu ranjang kematian. Ranjang
adalah tempat yang nyaman untuk dipakai beristirahat dan merupakan metafora
untuk kehidupan. Kematian menyiratkan
hal yang menyedihkan. Jika kedua kata itu dipadukan maka dapat mengungkapkan
makna kehidupan yang menyedihkan. Puisi ini menceritakan seorang tokoh yang
disebutkan oleh penyair si “aku” yang menjalani kehidupan yang menyedihkan.
Mungkin kehidupan yang menyedihkan dapat dimaknai dengan berbagai macam hal.
Akan tetapi dari kata kematian dapat
ditarik makna kehidupan yang menyedihkan yang dapat menyebabkan kematian adalah
berupa seseorang yang menderita, baik karena musibah maupun penyakit. Lebih
spesifik dapat dimaknai sebagai penyakit karena kata kematian berkolokasi dengan kata ranjang, karena orang yang sakit biasanya identik dengan terbaring
di ranjang.
Secara keseluruhan makna dari puisi
tersebut adalah menceritakan tentang kehidupan si “aku” yang sangat menyedihkan
karena dia menderita penyakit yang berkepanjangan. Si “aku” telah lama mengidap
penyakit tersebut. Pada akhirnya si “aku” pun meninggal dunia. Namun setelah
kematiannya si “aku” merasa rindu akan kehidupan menyedihkan yang dijalaninya.
Hal tersebut
menyiratkan bahwa ada kebahagiaan yang didapat oleh si “aku’ tersebut walaupun
dalam keadaan sakit yang berkepanjangan.
______________________
M.
Rizali Ramadhan lahir di Banjarmasin pada tanggal 21 April 1989. Peserta kelas Semiotika
2010 di PBSID FKIP Unlam. Salah satu penulis puisi dalam antologi Sehelai Kanvas Sepasang Bola Mata (Tahura
Media, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar