Asal mula cerita:
Akun media sosial memudahkan banyak orang dalam berkomunikasi. Suatu kesempatan,
saya berkenalan dengan seseorang yang bernama Tita. Diceritakan ia sedang
kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unnesa), ia sedang menyelesaikan tugas
dari dosennya, dan tertarik dengan sebuah buku yang dibelinya di TB. Toga Mas.
Buku itu berjudul Buku Harian Pejalan Tidur. Lalu ia pun mengirim 4 pertanyaan
via sms dan saya membalasnya dengan mengirim e-mail ke isnaini.titawati@yahoo.co.id.
Maka inilah petikan wawancaranya:
Jawaban pendek
1. Apa
kecenderungan antologi puisi anda?
Tidak tahu
2.
Kenapa
anda memilih kecenderungan puisi itu?
Juga tidak tahu
3.
Bagaimana
proses kreatif dalam pembuatan karya tersebut?
Kalo pengen nulis, nulis aja....
4.
Apa
ikhtisar antologi puisi anda?
Hiduplah dengan lebih puitis... Matilah dengan cara yang puitis...
Jawaban panjang
1. Apa
kecenderungan antologi puisi anda?
Sejauh ini,
saya sudah menerbitkan antologi puisi, Jejak-jejak
Angin (Olongia, Yogyakarta, 2007, bersama Hajriansyah), Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan
Pistol Air (Tahura Media, Banjarmasin, 2008), dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (Tahura Media, Banjarmasin, 2009). Di
ketiga buku kumpulan puisi tersebut, saya secara kasar memasukkan semua puisi
yang pernah saya tulis apapun temanya, sampai rasanya saya kehabisan stok puisi
untuk diterbitkan. Nah, baru di
kumpulan puisi Pejalan Tidur saya mulai memikirkan tema. Kenapa tidak bikin
buku kumpulan puisi yang tematis? Misalnya tema sosial satu buku, tema tentang
lokalitas satu buku, tema cinta satu buku, dst. Di BHPT, saya berpikir tentang
sesuatu yang melampaui materi, mungkin itu jiwa, spirit, dan
kekonyolan-kekonyolan yang terjadi dalam memahami jiwa. Atau entahlah? Yang
jelas, saya mungkin terpengaruh ungkapan ini, ungkapan yang juga saya tulis di
skripsi saya: Satu-satunya perjalanan
dalam hidup ini adalah perjalanan ke dalam diri. Jadi bagi saya pribadi, Buku
Harian Pejalan Tidur adalah pintu masuk saya untuk melakukan perjalanan ke
dalam diri saya. Catatan lain, dalam BHPT ada puisi-puisi yang nyasar keluar
dari tema. Dan bagi saya itu satu keindahan juga.
2.
Kenapa
anda memilih kecenderungan puisi itu?
Pengaruh bacaan, pengaruh kepribadian saya yang
penyendiri dan pemurung. Dari seseorang yang demam panggung, tidak percaya diri
membacakan puisinya sendiri, bahkan tidak percaya diri dalam banyak situasi
sosial. Namun hal-hal itu memberi kekuatan tersendiri. Seperti kata Rendra
dalam sebuah puisi menjelang kematiannya: Aku
lemas tapi berdaya! Jadi kenapa memilih kecenderungan puisi seperti ini?
Susah menjelaskannya, ia mengalir sendiri, merembes sendiri, tanpa bisa
ditahan-tahan.
3.
Bagaimana
proses kreatif dalam pembuatan karya tersebut?
Selalu dimulai dengan baris pertama. Artinya, jika
ilham mendesak-desak untuk dituliskan dalam baris pertama, maka sebuah sinyal
bagi saya untuk menyiapkan diri menghadapi pengembaraan baru di belantara kata.
Ada sebuah kesenangan. Kesenangan karena tak sungguh-sungguh tahu di mana akan
berakhirnya puisi yang ditulis. Bisa linier, berbelok-belok atau bahkan tersesat. Judul puisi biasanya saya
pikirkan belakangan. Judul kadang sepele, biasa, atau bahkan tidak nyambung.
Sebab judul puisi saya anggap sebagai penanda saja, penanda yang tak terlalu
penting. Kecuali mungkin judul buku, yang seringkali bolak-balik mikirnya....
Jadi titik tolak penciptaan puisi saya bukanlah tema, tapi ilham di baris
pertama puisi saya.
4.
Apa
ikhtisar antologi puisi anda?
Ada hal yang lebih penting ketimbang jago nulis
puisi, yaitu hidup dengan kesadaran yang puitik. Melakukan tindakan-tindakan
puitik. Sederhananya, Hiduplah dengan lebih puitis... Matilah dengan cara yang
puitis... Apa saja tindakan-tindakah puitik? Temukan sendiri! Kenapa harus
kesadaran puitik? Karena hidup yang tidak disadari tidak layak dijalani,
demikian kata Socrates. Tapi
entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar