Jumat, 29 Juni 2012

Wawancara tentang Pejalan Tidur


Asal mula cerita: Akun media sosial memudahkan banyak orang dalam berkomunikasi. Suatu kesempatan, saya berkenalan dengan seseorang yang bernama Tita. Diceritakan ia sedang kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unnesa), ia sedang menyelesaikan tugas dari dosennya, dan tertarik dengan sebuah buku yang dibelinya di TB. Toga Mas. Buku itu berjudul Buku Harian Pejalan Tidur. Lalu ia pun mengirim 4 pertanyaan via sms dan saya membalasnya dengan mengirim e-mail ke isnaini.titawati@yahoo.co.id.

 Maka inilah petikan wawancaranya:




Jawaban pendek
1.      Apa kecenderungan antologi puisi anda?
Tidak tahu

2.      Kenapa anda memilih kecenderungan puisi itu?
Juga tidak tahu

3.      Bagaimana proses kreatif dalam pembuatan karya tersebut?
Kalo pengen nulis, nulis aja....

4.      Apa ikhtisar antologi puisi anda?
Hiduplah dengan lebih puitis... Matilah dengan cara yang puitis...


Jawaban panjang
1.      Apa kecenderungan antologi puisi anda?
Sejauh ini, saya sudah menerbitkan antologi puisi, Jejak-jejak Angin (Olongia, Yogyakarta, 2007, bersama Hajriansyah), Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air (Tahura Media, Banjarmasin, 2008), dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (Tahura Media, Banjarmasin, 2009). Di ketiga buku kumpulan puisi tersebut, saya secara kasar memasukkan semua puisi yang pernah saya tulis apapun temanya, sampai rasanya saya kehabisan stok puisi untuk diterbitkan. Nah, baru di kumpulan puisi Pejalan Tidur saya mulai memikirkan tema. Kenapa tidak bikin buku kumpulan puisi yang tematis? Misalnya tema sosial satu buku, tema tentang lokalitas satu buku, tema cinta satu buku, dst. Di BHPT, saya berpikir tentang sesuatu yang melampaui materi, mungkin itu jiwa, spirit, dan kekonyolan-kekonyolan yang terjadi dalam memahami jiwa. Atau entahlah? Yang jelas, saya mungkin terpengaruh ungkapan ini, ungkapan yang juga saya tulis di skripsi saya: Satu-satunya perjalanan dalam hidup ini adalah perjalanan ke dalam diri. Jadi bagi saya pribadi, Buku Harian Pejalan Tidur adalah pintu masuk saya untuk melakukan perjalanan ke dalam diri saya. Catatan lain, dalam BHPT ada puisi-puisi yang nyasar keluar dari tema. Dan bagi saya itu satu keindahan juga.

2.      Kenapa anda memilih kecenderungan puisi itu?
Pengaruh bacaan, pengaruh kepribadian saya yang penyendiri dan pemurung. Dari seseorang yang demam panggung, tidak percaya diri membacakan puisinya sendiri, bahkan tidak percaya diri dalam banyak situasi sosial. Namun hal-hal itu memberi kekuatan tersendiri. Seperti kata Rendra dalam sebuah puisi menjelang kematiannya: Aku lemas tapi berdaya! Jadi kenapa memilih kecenderungan puisi seperti ini? Susah menjelaskannya, ia mengalir sendiri, merembes sendiri, tanpa bisa ditahan-tahan.

3.      Bagaimana proses kreatif dalam pembuatan karya tersebut?
Selalu dimulai dengan baris pertama. Artinya, jika ilham mendesak-desak untuk dituliskan dalam baris pertama, maka sebuah sinyal bagi saya untuk menyiapkan diri menghadapi pengembaraan baru di belantara kata. Ada sebuah kesenangan. Kesenangan karena tak sungguh-sungguh tahu di mana akan berakhirnya puisi yang ditulis. Bisa linier, berbelok-belok atau bahkan tersesat. Judul puisi biasanya saya pikirkan belakangan. Judul kadang sepele, biasa, atau bahkan tidak nyambung. Sebab judul puisi saya anggap sebagai penanda saja, penanda yang tak terlalu penting. Kecuali mungkin judul buku, yang seringkali bolak-balik mikirnya.... Jadi titik tolak penciptaan puisi saya bukanlah tema, tapi ilham di baris pertama puisi saya.

 4.      Apa ikhtisar antologi puisi anda?
Ada hal yang lebih penting ketimbang jago nulis puisi, yaitu hidup dengan kesadaran yang puitik. Melakukan tindakan-tindakan puitik. Sederhananya, Hiduplah dengan lebih puitis... Matilah dengan cara yang puitis... Apa saja tindakan-tindakah puitik? Temukan sendiri! Kenapa harus kesadaran puitik? Karena hidup yang tidak disadari tidak layak dijalani, demikian kata Socrates. Tapi entahlah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar