Jumat, 29 Juni 2012

Bunuh Diri dengan Pistol Air | Antologi Puisi


(sumber http://hariesaja.wordpress.com/2008/07/28/bunuh-diri-dengan-pistol-air-antologi-puisi/)

oleh Harie Insani Putra
28 Juli, 2008
Demikianlah. Puisi-puisi masih ditulis. Buku-buku tetap dicetak. Dan kali ini, buku yang sampai ke tangan saya adalah Pistol Air, dengan nama panjang, Antologi puisi parodi tentang orang yang ingin bunuh diri dengan pistol air. Buku ini baru saja selesai dicetak, ibarat gorengan pisang, masih hangat. Sebagai ungkapan terimakasih, khususnya penerbit Tahura Media, yang tidak pelit mengirimkan buku-buku terbitannya, semoga saja, catatan ini bisa mewakilkan rasa terimakasih dan sekaligus undangan kepada penerbit atau penulis lain, yang bukunya juga ingin saya catatkan di blog ini. (Syaratnya, kirimi saya buku).

Mari kita mulai…
Sebenarnya, hanya orang gila yang merencanakan bunuh diri dengan pistol air. Kenapa tidak pistol sungguhan? Ya, ampun. Saya pegang pistol saja belum pernah, bagaimana rasanya kalau sungguhan kena tembak, ya? (bercanda), tapi judul buku ini memang aneh. Apalagi di bagian sampul, ilustrasinya sungguh-sungguh menggambarkan orang ingin bunuh diri, dan di belakangnya, ada gambar rumah sakit jiwa. Apa kata saya tadi, hanya orang gila yang merencanakan bunuh diri dengan pistol air. Benarkah ada kegilaan semacam itu di dalam puisi M. Nahdiasyah Abdi? Buku kumpulan puisi ini lumayan tipis, 134 halaman dengan ukuran 13 x 19 centimeter dengan nomor ISBN:979175622-8. Meski tergolong tipis, buku ini padat isinya. Mari kita buktikan!

  • Jumlah puisi di dalam buku tersebut sebanyak 83 judul plus-plus. Maksudnya, ada tambahan kata pengantar si penyair dan catatan panjang di bagian akhir, semacam riwayat hidup, sekaligus proses kreatif kepenyairannya selama ini. Dari catatan-catatan panjang itulah ada beberapa hal yang bisa diketahui:
  • Tentang puisi itu sendiri, si penyair berpendapat, ada 3 hal yang terkait dengan puisi. Yaitu, proses penciptaan, publikasi dan pembacaan. Proses penciptaan yang ia maksud dianalogikan bahwa puisi tak lebih seperti mainan. “Aku memperlakukan kata seperti anak kecil memperlakukan mainan barunya.” Tentang publikasi, si penyair berpendapat, jiwa orang dewasa mengambil perannya saat publikasi puisi. “Aku mulai menyortir, memisah puisi jelek dari puisi baik, memperbaiki ejaan, memilih media dan mulai mengkhawatirkan apa yang akan dikatakan orang. Sementara dalam proses pembacaan, penyairnya mengakui bahwa, “Bagian yang paling kuhindari adalah pembacaan puisi. Pembacaan puisi bagiku adalah sebuah pertunjukan. Aspek-aspek teatrikal mengambil peranan di sana.” Begitulah, sementara si penyair merasa suka demam panggungan. (Dalam Sekelumit cerita Hal VIII)
  • Penyair, M. Nahdiansyah Abdi lahir di Durian Gantang, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Tepatnya, 29 Juni 1979. Dalam catatan di bagian akhir ini, Penyair seperti menceritakan sejarah hidup ia dan keluarganya. Termasuk pengalaman-pengalamannya mengapa menyukai puisi. Khususnya, ketika berada di Yogyakarta dan saat itu ia masih mengenyam pendidikan jurusan psikologi UGM Yogyakarta.
  • Penyair saat ini bekerja di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Kalsel.
  • Buku kumpulan puisi ini juga dipadati dengan sketsa gambar. Di setiap bagian bawah halaman (footer), selalu terdapat kata mutiara dan kutipan tokoh-tokoh terkenal.
Meski puisi-puisi yang ditulis M. Nahdiansyah Abdi seperti yang ia katakan, “Aku membuat puisi tidak untuk menyenangkan hati semua orang. Kecenderungan dan style pembaca sungguhlah beragam.” Namun membaca semua puisi yang ditulisnya tampak makna dari kesederhaan kata yang ia gunakan. Adakah lagi yang bisa didapat bagi seorang pembaca buku puisi selain kata dan makna? Begitulah cara saya menerima puisi. Bagaimanapun, kenikmatan membaca setiap orang juga berbeda, demikian pula saya. Tentang selera Anda, otomatis bukan urusan saya. Maka ada beberapa puisi M. Nahdiansyah Abdi yang saya sukai. Berikut saya kutipkan salah satunya saja:

Satwa yang dilindungi

Ada satu satwa
Sangat di lindungi “Undang-Undang”
Satwanya sendiri sangat jenaka
Penghibur keluarga

Dari hutan tak bertepi
Kini berkandang dalam manusia: korupsi


Kenapa saya menyukai puisi di atas padahal kata yang digunakan cukup sederhana? Dari kesederhaan itulah saya melihat ‘kegilaan’ atas apa yang disampaikan. Bayangkanlah seorang koruptor. Ia dicaci, mungkin dihujat, tapi di sini penyairnya juga menyampaikan hal lain. “penghibur keluarga” demikian kata si penyair. Mungkin bagi orang lain, Koruptor sangat menjijikan, tapi bagi keluarganya, ia mungkin sebagai penyelamat juga sekaligus penghibur. Bagi saya, itu juga kegilaan. Si penyair memperlihatkannya lewat dua sudut pandang yang berlainan.

Nah, sekali lagi, puisi memang menawarkan banyak kesempatan untuk berbagi dengan pembacanya masing-masing. Masih banyak puisi-puisi lain yang menawarkan kesegaran dan penuh perenungan. Tentunya, tidak sakadar mengindah-indahkan kata, atau memainkan bahasa. Contohnya dalam puisi ini:

Penyair yang Tak Bahagia


Kataku pada isteriku: Biarlah cuma aku yang menyenangi puisi
Lantas kami lama terjaring hening
Dan setelahnya
Tertawa ngakak


Kenapa penyair yang tak bahagia, padahal di akhir puisi tersebut masing-masing tertawa ngakak? Sangat aneh bukan, atau katakan saja ‘gila’. Puisi di atas membuat saya berimajinasi tentang seorang penyair yang sedang diskusi atau ngobrol dengan isterinya. Inilah dialog imajiner untuk memudahkan apa yang saya maksud:
“Kenapa tidak satu pun di keluarga kita menyenangi puisi? Kau juga!” kata si suami. Atau, “Kenapa kalian memandangku aneh hanya gara-gara aku menyukai puisi?” Akhirnya, karena tak ingin berdebat lebih lama, sang suami mengatakan, “Biarlah cuma aku yang menyenangi puisi,” ungkapnya merajuk. Lantas, isterinya tertawa melihat sikap suaminya itu. Akhirnya, mereka pun ngakak bersama-sama menyadari bahwa itu memang lucu, meski kelucuan yang mereka miliki tak harus sama.
Akhir kata, kumpulan puisi ini memberikan alasan tersendiri kenapa layak untuk dibaca. Seperti orang yang ingin bunuh diri dengan pistol air, sungguh itu gila. Memang banyak ‘kegilaan-kegilaan’ kecil dan besar yang diungkapkan M. Nahdiansyah lewat puisinya. Selamat! [ ]

Judul Buku @ Parodi Tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air
Penulis @ M. Nahdiansyah Abdi
Penerbit @ Tahura Media
Harga @ Rp.25.000 (Discount 50% selama Agustus 2008, di Book Cafe ruMahcerita Banjarbaru)
Tebal @ 134 hal.; 13 x 19 cm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar