Jumat, 29 Juni 2012

Sosok Ibu di Mata M. Nahdiansyah Abdi




Oleh : Noor Sa’adah

 

Puisi selain sebagai refleksi bisa juga disebut sebagai replika kehidupan namun dalam bentuk lain, tulisan. Kebanyakan puisi berdiri di atas fondasi realitas yang kemudian di-metafora-kan dalam bentuk-bentuk lain. Bentuk-bentuk yang kadang-kadang keluar dari batas-batas realitas itu sendiri. Bisa dibilang ini adalah hak veto seorang penyair untuk mengaduk-aduk imajinasi dengan kenyataan menjadi sebuah adonan kental yang akhirnya dinikmati oleh para pembacanya. Meski akhirnya (seperti sekarang ini) akan terus dikritik untuk melihat ketidaklogisannya, penyimpangan bait demi baitnya, puisi akan terus mengalir terlahir dengan bebas, sebebas sang pengarang berpikir. Apa yang tercipta tentulah tegak lurus dengan apa yang terlintas dalam hati dan otak mereka masing-masing saat itu karena memang pikiran dan perasaan mereka milik mereka sendiri, dan Tuhan tentunya.

Akan tetapi ada hal yang tak bisa dielakkan ketika seseorang membaca sebuah puisi, yakni akan munculnya pemikiran-pemikiran baru, yang secara sengaja atau tidak, menyikapi puisi tersebut. Wajar jika kekaguman dan kebingungan berjalan beriringan  dan berupaya saling mengalahkan satu sama lain saat itu juga. Hal ini lah yang membuat saya menganggap sajak M. Nahdiansyah Abdi , “Tak Habis Ibu”, dalam Antologi Puisi Pistol Air (hlm. 73)  menarik minat saya untuk berpikir lebih dalam tentang figur wanita yang selalu menjadi simbol keagungan, sosok seorang ibu. Membuat saya kagum, sekaligus bingung di sisi yang lain.


Penyair kelahiran Durian Gantang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini adalah alumni Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta (1998-2003). Terlihat jelas jika ilmu yang ia dapat ketika ia kuliah di fakultas itu banyak mempengaruhi keseluruhan dari sajak-sajak yang tercipta di dalam antologi ini. Meski begitu bukan berarti Abdi lupa pada kampung halamannya, ia bahkan sempat berterimakasih dengan orang-orang Sambang Lihum (RSJ), tempat ia bekerja, dalam  Kesaksian yang ia tulis di halaman belakang buku ini.
Sajak-sajak dalam buku ini tampak sekali tidak ingin menonjolkan sisi keindahan sebuah puisi. Porsi ‘kenyataan dalam kehidupan’ lebih banyak ditonjolkan dengan kalimat-kalimat lepas tanpa perlu terikat rima dan sebagainya. Benar-benar tidak ingin menggunakan kata-kata puitis, namun tentu saja tidak menghalangi pembaca untuk tetap merasa miris.

Abdi mengangkat sebuah tema yang memang sangatlah umum, namun ia berhasil mendeskripsikan sosok ibu lewat kacamatanya sendiri. Pandangan Abdi terhadap sosok ibu di dalam sajak ini memang sedikit terasa berbeda dibanding sajak-sajak pendahulunya yang bertemakan sama. Biasanya, sosok ibu digambarkan tegar, agung, dan tanpa pamrih. Tetapi, dilihat dari puisi ini, Abdi ternyata punya presepsi sendiri tentang sosok ibu.

Citra  seorang ibu yang digambarkan oleh Abdi di sajaknya membangkitkan dilema dalam pikiran saya. Disatu sisi benar jika kebanyakan ibu berkorban begitu banyak demi sang buah hati, namun disisi lain penggambaran ibu rasanya tidak sesuai dengan kenyataan karena seorang ibu tidaklah selemah itu, tidaklah semenderita itu.

Tak habis ibu
meregang kesakitan dan mengalirkan susu
Not-not yang tak sempurna
Bermain pada tubuh yang lelah
yang ingin bersandar
sejenak pada detik yang tercurah
Tangis si anak bagai kupu-kupu mungil
Bagai kupu-kupu mungil

Di dalam bait pertama ini  seorang ibu seperti terdeskripsikan sebagai sosok yang sudah terlalu lelah untuk berusaha. Penggambaran Abdi tentang anak sebagai penghiburan kecil bagi sang ibu menjadi ironis dengan ibu yang begitu sakit, menderita dan ingin istirahat. Padahal bukankah seorang anak lah yang akan mengobati rasa letih dan luka seorang ibu? Pada baris kelima, sosok ibu yang ingin bersandar untuk beberapa saat, seolah ingin menujukkan sosok ibu yang tidak sanggup lagi menahan rasa letihnya dan sesaat ingin menyerah pada keadaan, pada rasa lelah. Seorang ibu yang benar-benar seorang ibu (bukan seorang wanita yang hanya bisa melahirkan namun tidak bertanggung jawab), tidak akan pernah menganggap anaknya sebagai sumber masalah, tapi lumbung kebahagiaannya.

Tak habis ibu
merayakan kasih pilu
Doa-doa terlambung
di malam-malam yang limbung
Airmata tak tertafsirkan
Sungguh tak tertafsirkan
Dekaplah si anak sepenuh lelahmu
Tanganmu yang lembut mendamaikan

Dalam bait kedua, seorang ibu kembali digambarkan dengan penuh kepedihan. Saya menjadi berpikir, apakah seorang ibu sebegitu tidak ikhlasnya ketika memelihara anaknya sendiri sehingga  kasih sayang pun menjadi seperti sebuah keterpaksaan. Kemudian pada baris terakhir pada tanganmu, pronomina –mu membuat sedikit kerancuan pada siapa yang dirujuk oleh pronomina –mu itu. Karena dari bait pertama, puisi ini menggambarkan tentang ibu, bukan berusaha berbicara dengan sosok ibu, akan lebih logis jika pronomina –mu itu diganti dengan pronomina –nya. Jadi, kalimatnya bisa menjadi seperti ini :

Mendekap si anak sepenuh lelahnya
Tangannya yang lembut mendamaikan

******
Adindaku, ketahuilah
Anak-anak yang tak henti mengalir
dari rahimmu
adalah sejarah yang bergelora
adalah kemenangan fana cinta: sebagaimana
hidup yang singkat, drama yang penuh retak
tertidur pulas dalam rahim-Nya

Pada bait ketiga ini ada beberapa hal yang terlihat janggal  yakni adindaku, rahimmu, dan rahim-Nya. Pronomina –ku, -mu, dan –Nya serasa salah tempat mengingat pada bait-bait sebelumnya hanya menceritakan lelahnya seorang ibu, bukan lelahnya ‘adinda’ menjadi seorang ibu atau tentang Tuhan yang punya banyak taqdir dalam ‘rahim’-Nya. Mungkin ini hanya permainan kata-kata agar puisi menjadi lebih menarik dan enak ketika dibaca, tapi bukan berarti berhak untuk menggunakan kata-kata yang kelak akan membingungkan siapa pun yang membacanya. Lalu, dalam bait ketiga ini tersirat tentang hal melahirkan anak yang tidak dibatasi. Penyair sepertinya menganggap itu adalah hal biasa baginya (sebagai laki2), tapi apa dia yakin bahwa sang wanita juga sependapat? Apa wanita hanya terlahir sebagai media reproduksi semata? Tentu tidak, sekarang kita memahami betul betapa peran wanita begitu penting meski ia berstatus sebagai seorang ibu.

Namun, mengesampingkan hal-hal teknis di atas, puisi ini layak untuk menjadi bahan renungan, utamanya bagi kaum hawa yang akan, sedang, ataupun sudah menjadi seorang ibu. Melihat betapa banyaknya wanita yang marak menyia-nyiakan anak mereka, baik yang sudah berbentuk manusia maupun jabang bayi, sosok ibu yang meski tergambar sangat lelah  dalam puisi ini ternyata masih tetap bisa mengusung rasa sayangnya terhadap anaknya. Sebesar apapun rasa lelahnya, sosok ibu dalam puisi ini digambarkan terus bertahan untuk tetap menjaga anaknya, meski tak dapat dipungkiri akan adanya keluhan-keluhan kecil yang memarakkan suasana kehidupan seorang ibu. Hal yang benar-benar hampir hilang di mata ibu-ibu muda sekarang yang mulai belajar tidak bertanggung jawab. Puisi ini merupakan tunas yang ‘tak habis’ berusaha untuk tumbuh di tanah yang begitu gersang.

Posting: 13 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar