Oleh : Noor Sa’adah
Puisi selain sebagai refleksi bisa juga disebut
sebagai replika kehidupan namun dalam bentuk lain, tulisan. Kebanyakan puisi
berdiri di atas fondasi realitas yang kemudian di-metafora-kan dalam
bentuk-bentuk lain. Bentuk-bentuk yang kadang-kadang keluar dari batas-batas
realitas itu sendiri. Bisa dibilang ini adalah hak veto seorang penyair untuk
mengaduk-aduk imajinasi dengan kenyataan menjadi sebuah adonan kental yang
akhirnya dinikmati oleh para pembacanya. Meski akhirnya (seperti sekarang ini)
akan terus dikritik untuk melihat ketidaklogisannya, penyimpangan bait demi
baitnya, puisi akan terus mengalir terlahir dengan bebas, sebebas sang
pengarang berpikir. Apa yang tercipta tentulah tegak lurus dengan apa yang
terlintas dalam hati dan otak mereka masing-masing saat itu karena memang
pikiran dan perasaan mereka milik mereka sendiri, dan Tuhan tentunya.
Akan tetapi ada hal yang tak bisa dielakkan ketika
seseorang membaca sebuah puisi, yakni akan munculnya pemikiran-pemikiran baru,
yang secara sengaja atau tidak, menyikapi puisi tersebut. Wajar jika kekaguman
dan kebingungan berjalan beriringan dan berupaya saling mengalahkan satu
sama lain saat itu juga. Hal ini lah yang membuat saya menganggap sajak M.
Nahdiansyah Abdi , “Tak Habis Ibu”, dalam Antologi Puisi Pistol Air
(hlm. 73) menarik minat saya untuk berpikir lebih dalam tentang figur
wanita yang selalu menjadi simbol keagungan, sosok seorang ibu. Membuat saya
kagum, sekaligus bingung di sisi yang lain.
Penyair kelahiran Durian Gantang, Kabupaten Hulu
Sungai Tengah ini adalah alumni Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta (1998-2003).
Terlihat jelas jika ilmu yang ia dapat ketika ia kuliah di fakultas itu banyak
mempengaruhi keseluruhan dari sajak-sajak yang tercipta di dalam antologi ini.
Meski begitu bukan berarti Abdi lupa pada kampung halamannya, ia bahkan sempat
berterimakasih dengan orang-orang Sambang Lihum (RSJ), tempat ia bekerja,
dalam Kesaksian yang ia tulis di halaman belakang buku ini.
Sajak-sajak dalam buku ini tampak sekali tidak
ingin menonjolkan sisi keindahan sebuah puisi. Porsi ‘kenyataan dalam
kehidupan’ lebih banyak ditonjolkan dengan kalimat-kalimat lepas tanpa perlu
terikat rima dan sebagainya. Benar-benar tidak ingin menggunakan kata-kata
puitis, namun tentu saja tidak menghalangi pembaca untuk tetap merasa miris.
Abdi mengangkat sebuah tema yang memang sangatlah
umum, namun ia berhasil mendeskripsikan sosok ibu lewat kacamatanya sendiri.
Pandangan Abdi terhadap sosok ibu di dalam sajak ini memang sedikit terasa
berbeda dibanding sajak-sajak pendahulunya yang bertemakan sama. Biasanya,
sosok ibu digambarkan tegar, agung, dan tanpa pamrih. Tetapi, dilihat dari
puisi ini, Abdi ternyata punya presepsi sendiri tentang sosok ibu.
Citra seorang ibu yang digambarkan oleh Abdi
di sajaknya membangkitkan dilema dalam pikiran saya. Disatu sisi benar jika
kebanyakan ibu berkorban begitu banyak demi sang buah hati, namun disisi lain
penggambaran ibu rasanya tidak sesuai dengan kenyataan karena seorang ibu
tidaklah selemah itu, tidaklah semenderita itu.
Tak habis ibu
meregang kesakitan dan mengalirkan susu
Not-not yang tak sempurna
Bermain pada tubuh yang lelah
yang ingin bersandar
sejenak pada detik yang tercurah
Tangis si anak bagai kupu-kupu mungil
Bagai kupu-kupu mungil
Di dalam bait pertama ini seorang ibu
seperti terdeskripsikan sebagai sosok yang sudah terlalu lelah untuk berusaha.
Penggambaran Abdi tentang anak sebagai penghiburan kecil bagi sang ibu menjadi
ironis dengan ibu yang begitu sakit, menderita dan ingin istirahat. Padahal
bukankah seorang anak lah yang akan mengobati rasa letih dan luka seorang ibu?
Pada baris kelima, sosok ibu yang ingin bersandar untuk beberapa saat, seolah
ingin menujukkan sosok ibu yang tidak sanggup lagi menahan rasa letihnya dan
sesaat ingin menyerah pada keadaan, pada rasa lelah. Seorang ibu yang
benar-benar seorang ibu (bukan seorang wanita yang hanya bisa melahirkan namun
tidak bertanggung jawab), tidak akan pernah menganggap anaknya sebagai sumber
masalah, tapi lumbung kebahagiaannya.
Tak habis ibu
merayakan kasih pilu
Doa-doa terlambung
di malam-malam yang limbung
Airmata tak tertafsirkan
Sungguh tak tertafsirkan
Dekaplah si anak sepenuh lelahmu
Tanganmu yang lembut mendamaikan
Dalam bait kedua, seorang ibu kembali digambarkan
dengan penuh kepedihan. Saya menjadi berpikir, apakah seorang ibu sebegitu
tidak ikhlasnya ketika memelihara anaknya sendiri sehingga kasih sayang
pun menjadi seperti sebuah keterpaksaan. Kemudian pada baris terakhir pada tanganmu,
pronomina –mu membuat sedikit kerancuan pada siapa yang dirujuk oleh
pronomina –mu itu. Karena dari bait pertama, puisi ini menggambarkan
tentang ibu, bukan berusaha berbicara dengan sosok ibu, akan lebih logis jika
pronomina –mu itu diganti dengan pronomina –nya. Jadi,
kalimatnya bisa menjadi seperti ini :
Mendekap si anak sepenuh lelahnya
Tangannya yang lembut mendamaikan
******
Adindaku, ketahuilah
Anak-anak yang tak henti mengalir
dari rahimmu
adalah sejarah yang bergelora
adalah kemenangan fana cinta: sebagaimana
hidup yang singkat, drama yang penuh retak
tertidur pulas dalam rahim-Nya
Pada bait ketiga ini ada beberapa hal yang
terlihat janggal yakni adindaku, rahimmu, dan rahim-Nya.
Pronomina –ku, -mu, dan –Nya serasa salah tempat mengingat
pada bait-bait sebelumnya hanya menceritakan lelahnya seorang ibu, bukan
lelahnya ‘adinda’ menjadi seorang ibu atau tentang Tuhan yang punya banyak
taqdir dalam ‘rahim’-Nya. Mungkin ini hanya permainan kata-kata agar puisi
menjadi lebih menarik dan enak ketika dibaca, tapi bukan berarti berhak untuk
menggunakan kata-kata yang kelak akan membingungkan siapa pun yang membacanya.
Lalu, dalam bait ketiga ini tersirat tentang hal melahirkan anak yang tidak
dibatasi. Penyair sepertinya menganggap itu adalah hal biasa baginya (sebagai
laki2), tapi apa dia yakin bahwa sang wanita juga sependapat? Apa wanita hanya
terlahir sebagai media reproduksi semata? Tentu tidak, sekarang kita memahami
betul betapa peran wanita begitu penting meski ia berstatus sebagai seorang
ibu.
Namun, mengesampingkan hal-hal teknis di atas,
puisi ini layak untuk menjadi bahan renungan, utamanya bagi kaum hawa yang
akan, sedang, ataupun sudah menjadi seorang ibu. Melihat betapa banyaknya
wanita yang marak menyia-nyiakan anak mereka, baik yang sudah berbentuk manusia
maupun jabang bayi, sosok ibu yang meski tergambar sangat lelah dalam
puisi ini ternyata masih tetap bisa mengusung rasa sayangnya terhadap anaknya.
Sebesar apapun rasa lelahnya, sosok ibu dalam puisi ini digambarkan terus bertahan
untuk tetap menjaga anaknya, meski tak dapat dipungkiri akan adanya
keluhan-keluhan kecil yang memarakkan suasana kehidupan seorang ibu. Hal yang
benar-benar hampir hilang di mata ibu-ibu muda sekarang yang mulai belajar
tidak bertanggung jawab. Puisi ini merupakan tunas yang ‘tak habis’ berusaha
untuk tumbuh di tanah yang begitu gersang.
Posting: 13 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar