(sumber: Dimuat
dalam buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2008-2011, hal. 53-58, juga pernah
dimuat di Koran Radar Banjarmasin)
Oleh: Sainul Hermawan
Pistol
Air:
Sebuku Tiga Seni
Cover buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2008-2011 |
Mungkin Pistol Air (PA) adalah salah satu
kumpulan puisi yang menolak gagasan bahwa semestinya sebuah buku kumpulan puisi
disajikan dengan kesunyian yang antara lain dengan menghadirkan ruang lapang
bagi setiap sajak untuk menempati satu halaman tenang di setiap halaman buku:
tak perlu ada sesuatu yang lain, yang ada hanya puisi.
PA tak demikian. Buku puisi ini diawali dan
diakhiri cerita penulisnya tentang latar belakang dan latar depan dirinya dan
puisi dan lain-lain. Tak semua cerita terkait langsung dengan puisi dalam buku
ini (tapi mungkin menjadi inspirasi). Keduanya menarik dan tampak menolak
universalisme. Dian tampak ingin menghadirkan diri dan pengalamannya: untuk
berbagi. Dian berbagi ruang dengan karya seni lain: sketsa dan kata-kata
mutiara.
Ada 18 sketsa karya Hajriansyah yang menghiasi
halaman-halaman tertentu buku ini. Sebagian besar sketsa-sketsa itu tidak hadir
sebagai ilustrasi puisi di buku ini. Sketsa itu kebanyakan hadir di sana
sebagai dirinya sendiri. Akan tetapi, jika mau dipaksakan, kesan adanya keterkaitan
sketsa dengan sajak tertentu dapat ditemukan, misalnya sketsa di bawah sajak
“Rasa Harmoni” yang diberi sketsa tentang suasana angkringan yang kaprah
di sisi-sisi jalan Jogja.
Hampir di akhir setiap sajak (kecuali sajak pada
halaman 77-78), biasanya setelah sketsa, ada kutipan kata-kata mutiara penuh
hikmah dari beragam sumber: Quran, hadits, ungkapan ulama, dan filsuf. Buku
yang berisi 83 puisi, 18 sketsa, dan 83 lebih ungkapan dan kata mutiara lebih
layak disebut kumpulan puisi (sastra: seni kata), sketsa (seni lukis), dan kata
mutiara daripada sebagai antologi puisi saja. Akan tetapi, memang ada hak prerogatif dan arbitrer penulis
dan ide ini hanya saran apresiatif pembaca yang didasarkan pada fakta yang ada.
Buku PA
berpeluang menjadi ruang ketiga bentuk seni itu untuk saling bersaing satu sama
lain dan persaingan itu memberikan ruang
bagi pembelokan perhatian ke arah lain: ke sketsa dan ungkapan-ungkapan
filosofis itu, tergantung pada repertoar dominan pembaca. Begitulah antara lain
plus minus satu buku multifungsi. Itulah sebagian keunikan pertama buku ini.
Keunikan lainnya adalah puisi yang ada dalam
buku ini menggunakan teknik sudut pandang (point of view) yang beragam
mulai dari yang paling umum (aku, aku dan aku, aku dan kami, aku dan kita, dan
aku dan dia) sampai ke yang paling langka (kamu dan mereka). Penggunaan sudut
pandang orang kedua tunggal “kamu” dan orang pertama tunggal “aku” pun beragam.
Ada “kamu” yang diposisikan secara jelas sebagai tujuan direktif (narratee)
dari ungkapan yang diutarakan “aku” (narrator), dan ada pula yang “kamu”
yang ambigu, yang bisa mengarah ke dua arah sekaligus: dari luar ke dalam atau
sebaliknya, atau dari sajak ke pembaca atau dari pembaca ke sajak.
Keberagaman ini mungkin dipahami sebagai ciri
pribadi puisi Dian dalam kaitannya dengan puisi lain di Kalimantan Selatan tetapi
hal ini pun dapat dipandang sebagai kekurangan. Misalnya, keberagaman ini
dilihat sebagai kondisi puisi tanpa kredo yang khas sebagaimana Joko Pinurbo
menampung tubuh dalam kredo puisinya atau Remy Sylado yang pernah merawat puisi
mbeling (nakal), dan Sapardi Djoko Damono yang setia menggarap keluguan.
Dua
Simile
Unsur kepuitisan puisi Dian yang juga menarik
adalah simile. Simile merupakan ungkapan dalam puisi yang membandingkan
dua hal secara eksplisit dengan menggunakan kata-kata perbandingan (seperti,
bagaikan, laksana, se-kata sifat,
bak, dan semacamnya). Biasanya simile terdiri atas dua bagian, yang satu
konkret dan yang lainnya abstrak. Misalnya, dalam ungkapan sajak karya Robert
Burns, “cintaku laksana mawar merah menyala”. Kadang simile membandingkan
sesuatu yang tak setara dan menjadi sarana pembangun paradoks dan ironi dalam
puisi.
Beberapa simile dalam puisi Dian tampak unik dan
sebagian yang lain tampak konvensional dan kurang kuat. Yang unik, misalnya
tampak pada sajak “Pertanyaan”: dan rasa kehilanganmu seperti cahaya yang
mencair…; pada sajak “Faisal Kamandobat”: Ada banyak langit/ Mengeropos
dalam batin/seperti pahit pada mimpi yang bersin…; dan semacamnya.
Yang konvensional, misalnya, tampak pada sajak
“Janji”:…cinta yang sesepele luka. Juga pada sajak “Berduaan”: …Nasib
kita seperti bandul yang bergoyang…; dan pada sajak “Sopir Truk”:…kesenangan
mendesau-desau seperti luka yang teramat sangat.
Dua
Metafora
Kekuatan lain sajak-sajak Dian dalam PA ada pada pernik-pernik metafora yang
digagasnya. Metafora adalah salah unsur penguat puisi selain unsur bunyi,
diksi, sintaksis, pencitraan, simile, dan sudut pandang. Metafora erat
kaitannya dengan simile. Seperti halnya simile, metafor meluaskan atau
mengembangkan arti dan menjelaskan (mengklarifikasi) makna sesuatu.
Metafor mengidentifikasi satu objek atau ide
dengan objek dan ide yang lain dengan satu aspek atau lebih. Ada banyak teori
yang menyatakan bahwa keberhasilan makna puisi sering bergantung pada
keberhasilan metaforanya. Dalam kumpulan puisi ini dapat kita temukan metafora
yang ekonomis dan metafora pencitraannya kaya. Metafora yang ekonomis tampak
mengurangi kekuatan nada dan citra dari sajak yang menggunakannya.
Misalnya, metafora ekonomi yang tersendat
pengembangannya dapat kita baca pada sajak “Pantomim Orang Kota”:...orang-orang
ini bergelimpangan di kota-kota/menjadi lalat atas sampah yang bau.... Bau
apa? Tak jelas karena terlalu ekonomis sehingga daya metafornya kurang kuat.
Sebaliknya metafor total dapat kita baca pada sajak “Joko Pinurbo” (hal. 12)
dan sajak “Satwa yang Dilindungi” (hal. 26).
Yang
Mengesankan dan Mengganggu
Ada beberapa puisi yang sangat mengesankan.
Pertama, sajak “Kangen: Tidak Lebih Tidak Kurang” (hal. 55). Dalam sajak ini
kerinduan punya warna, rasa, bentuk dan kelakar. Kedua, sajak “Kamandahan” (hal. 29). Sajak ini pendek yang memiliki cerita
panjang. Kata-katanya terang terang tetapi berteka-teki tentang kearifan
memahami kebakaran yang rutin terjadi di Banjarmasin. Pendek tetapi jelas mau
bicara apa dan mampu jadi prasasti duka bagi api yang selalu mengintai kota
tempat tinggal Dian.
Sajak pendek, terang, dan berteka-teki ini
mengingatkan saya pada sajak pendek Amiri Baraka, seorang black poet di
Amerika yang menulis sajak “Sunday in Flat B”. Terjemahan bebasnya
kurang lebih begini: Aku berdoa kepada tuhan, dia tak mengabulkan/kuminta
911 iblis datang seketika. Sajak ini, seperti layaknya sajak Dian, mudah
diingat karena punya akar kultur dan sejarah yang kuat.
Sajak yang “mengganggu” nyaris tak ada. Secara
kebahasaan, gangguan kecil dapat kita baca pada sajak “Evolusi” (hal. 56). Di
sini ada kata “yaitu” yang saya rasa janggal dalam kaitannya dengan sarana
kepaduan puitis yang lainnya dalam sajak ini.
Epilog
Bagi saya, sebagai pengajar mata kuliah Menulis
Kreatif Sastra di dua perguruan tinggi (FKIP Unlam dan STKIP PGRI) di
Banjarmasin, yang di dalamnya juga mengajarkan cara menulis puisi, beberapa
puisi Dian dalam buku ini termasuk yang dapat menjadi recommended poetry
karena puisinya bukan sekadar mengindah-indahkan kata dengan asonansi, aliterasi,
rima dalam, simile, metafora, dan pencitraan warna, suara, rasa, dan rupa,
melainkan juga jelas mau bicara apa (kritik sosial, religiusitas, ungkapan
cinta pribadi, dan lain-lain).
Ungkapan-ungkapan yang sangat personal dan tidak
universal itulah yang membuat puisinya kuat dan punya jati diri meskipun
sepenuhnya tak bisa dikatakan khas gaya Dian karena di dalamnya pula, pada
puisi tertentu, dapat ditemukan adanya intertekstualitas dengan puisi (atau
teks hipogram, teks acuan, teks inspirasi) lain yang mengisi ruang repertoar
proses kreatifnya, misalnya, pengaruh Chairil Anwar, Joko Pinurbo, Sapardi
Djoko Damono, kisah-kisah para nabi, dan sebagainya.
Selanjutnya, pembacaan dan pembicaraan kritis
(termasuk penelusuran jejak intertekstualitasnya) dapat dilanjutkan oleh
pembaca lain untuk merayakan pemahaman dan penelusuran hikmah untuk keperluan
kita masing-masing. Sungguh Dian bukan sekadar menulis puisi, generasi baru ini
benar-benar terobsesi dan jatuh hati dengan puisi. Dia setia menyimpan
jejak-jejak proses kreatifnya sebagaimana penyair-penyair Indonesia tempo dulu.
PA adalah saripati dari segerobak kegelisahan obsesifnya terhadap puisi.
Mungkin karena sebagai produk “obsesi” PA menampakkan berbagai gejala
teks yang tak selalu punya penjelasan seperti ketakterkaitan gambar sampul
serta judul dengan keseluruhan puisi dalam buku ini, dan ketakterkaitan antara
sastra, sketsa, dan kata-kata mutiara di dalamnya. Namun, semua ini tetap mampu
memberikan hikmah.
Loktabat Utara, 7/Agt./2008
Dimuat dalam buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan
2008-2011, hal. 53-58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar