Jumat, 29 Juni 2012

Pistol Air: Sastra, Sketsa, dan Hikmah (Membaca Puisi karya M. Nahdiansyah Abdi)



(sumber: Dimuat dalam buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2008-2011, hal. 53-58, juga pernah dimuat di Koran Radar Banjarmasin)

Oleh: Sainul Hermawan

Pistol Air: Sebuku Tiga Seni
Cover buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2008-2011
Mungkin Pistol Air (PA) adalah salah satu kumpulan puisi yang menolak gagasan bahwa semestinya sebuah buku kumpulan puisi disajikan dengan kesunyian yang antara lain dengan menghadirkan ruang lapang bagi setiap sajak untuk menempati satu halaman tenang di setiap halaman buku: tak perlu ada sesuatu yang lain, yang ada hanya puisi.
PA tak demikian. Buku puisi ini diawali dan diakhiri cerita penulisnya tentang latar belakang dan latar depan dirinya dan puisi dan lain-lain. Tak semua cerita terkait langsung dengan puisi dalam buku ini (tapi mungkin menjadi inspirasi). Keduanya menarik dan tampak menolak universalisme. Dian tampak ingin menghadirkan diri dan pengalamannya: untuk berbagi. Dian berbagi ruang dengan karya seni lain: sketsa dan kata-kata mutiara.
Ada 18 sketsa karya Hajriansyah yang menghiasi halaman-halaman tertentu buku ini. Sebagian besar sketsa-sketsa itu tidak hadir sebagai ilustrasi puisi di buku ini. Sketsa itu kebanyakan hadir di sana sebagai dirinya sendiri. Akan tetapi, jika mau dipaksakan, kesan adanya keterkaitan sketsa dengan sajak tertentu dapat ditemukan, misalnya sketsa di bawah sajak “Rasa Harmoni” yang diberi sketsa tentang suasana angkringan yang kaprah di sisi-sisi jalan Jogja. 

 
Hampir di akhir setiap sajak (kecuali sajak pada halaman 77-78), biasanya setelah sketsa, ada kutipan kata-kata mutiara penuh hikmah dari beragam sumber: Quran, hadits, ungkapan ulama, dan filsuf. Buku yang berisi 83 puisi, 18 sketsa, dan 83 lebih ungkapan dan kata mutiara lebih layak disebut kumpulan puisi (sastra: seni kata), sketsa (seni lukis), dan kata mutiara daripada sebagai antologi puisi saja. Akan tetapi,  memang ada hak prerogatif dan arbitrer penulis dan ide ini hanya saran apresiatif pembaca yang didasarkan pada fakta yang ada.
Buku PA berpeluang menjadi ruang ketiga bentuk seni itu untuk saling bersaing satu sama lain dan persaingan  itu memberikan ruang bagi pembelokan perhatian ke arah lain: ke sketsa dan ungkapan-ungkapan filosofis itu, tergantung pada repertoar dominan pembaca. Begitulah antara lain plus minus satu buku multifungsi. Itulah sebagian keunikan pertama buku ini.
Keunikan lainnya adalah puisi yang ada dalam buku ini menggunakan teknik sudut pandang (point of view) yang beragam mulai dari yang paling umum (aku, aku dan aku, aku dan kami, aku dan kita, dan aku dan dia) sampai ke yang paling langka (kamu dan mereka). Penggunaan sudut pandang orang kedua tunggal “kamu” dan orang pertama tunggal “aku” pun beragam. Ada “kamu” yang diposisikan secara jelas sebagai tujuan direktif (narratee) dari ungkapan yang diutarakan “aku” (narrator), dan ada pula yang “kamu” yang ambigu, yang bisa mengarah ke dua arah sekaligus: dari luar ke dalam atau sebaliknya, atau dari sajak ke pembaca atau dari pembaca ke sajak.
Keberagaman ini mungkin dipahami sebagai ciri pribadi puisi Dian dalam kaitannya dengan puisi lain di Kalimantan Selatan tetapi hal ini pun dapat dipandang sebagai kekurangan. Misalnya, keberagaman ini dilihat sebagai kondisi puisi tanpa kredo yang khas sebagaimana Joko Pinurbo menampung tubuh dalam kredo puisinya atau Remy Sylado yang pernah merawat puisi mbeling (nakal), dan Sapardi Djoko Damono yang setia menggarap keluguan.

Dua Simile
Unsur kepuitisan puisi Dian yang juga menarik adalah simile. Simile merupakan ungkapan dalam puisi yang membandingkan dua hal secara eksplisit dengan menggunakan kata-kata perbandingan (seperti, bagaikan, laksana, se-kata sifat, bak, dan semacamnya). Biasanya simile terdiri atas dua bagian, yang satu konkret dan yang lainnya abstrak. Misalnya, dalam ungkapan sajak karya Robert Burns, “cintaku laksana mawar merah menyala”. Kadang simile membandingkan sesuatu yang tak setara dan menjadi sarana pembangun paradoks dan ironi dalam puisi.
Beberapa simile dalam puisi Dian tampak unik dan sebagian yang lain tampak konvensional dan kurang kuat. Yang unik, misalnya tampak pada sajak “Pertanyaan”: dan rasa kehilanganmu seperti cahaya yang mencair…; pada sajak “Faisal Kamandobat”: Ada banyak langit/ Mengeropos dalam batin/seperti pahit pada mimpi yang bersin…; dan semacamnya.
Yang konvensional, misalnya, tampak pada sajak “Janji”:…cinta yang sesepele luka. Juga pada sajak “Berduaan”: …Nasib kita seperti bandul yang bergoyang…; dan pada sajak “Sopir Truk”:…kesenangan mendesau-desau seperti luka yang teramat sangat.

Dua Metafora
Kekuatan lain sajak-sajak Dian dalam PA ada pada pernik-pernik metafora yang digagasnya. Metafora adalah salah unsur penguat puisi selain unsur bunyi, diksi, sintaksis, pencitraan, simile, dan sudut pandang. Metafora erat kaitannya dengan simile. Seperti halnya simile, metafor meluaskan atau mengembangkan arti dan menjelaskan (mengklarifikasi) makna sesuatu.
Metafor mengidentifikasi satu objek atau ide dengan objek dan ide yang lain dengan satu aspek atau lebih. Ada banyak teori yang menyatakan bahwa keberhasilan makna puisi sering bergantung pada keberhasilan metaforanya. Dalam kumpulan puisi ini dapat kita temukan metafora yang ekonomis dan metafora pencitraannya kaya. Metafora yang ekonomis tampak mengurangi kekuatan nada dan citra dari sajak yang menggunakannya.
Misalnya, metafora ekonomi yang tersendat pengembangannya dapat kita baca pada sajak “Pantomim Orang Kota”:...orang-orang ini bergelimpangan di kota-kota/menjadi lalat atas sampah yang bau.... Bau apa? Tak jelas karena terlalu ekonomis sehingga daya metafornya kurang kuat. Sebaliknya metafor total dapat kita baca pada sajak “Joko Pinurbo” (hal. 12) dan sajak “Satwa yang Dilindungi” (hal. 26).


Yang Mengesankan dan Mengganggu
Ada beberapa puisi yang sangat mengesankan. Pertama, sajak “Kangen: Tidak Lebih Tidak Kurang” (hal. 55). Dalam sajak ini kerinduan punya warna, rasa, bentuk dan kelakar.  Kedua, sajak “Kamandahan” (hal.  29). Sajak ini pendek yang memiliki cerita panjang. Kata-katanya terang terang tetapi berteka-teki tentang kearifan memahami kebakaran yang rutin terjadi di Banjarmasin. Pendek tetapi jelas mau bicara apa dan mampu jadi prasasti duka bagi api yang selalu mengintai kota tempat tinggal Dian.
Sajak pendek, terang, dan berteka-teki ini mengingatkan saya pada sajak pendek Amiri Baraka, seorang black poet di Amerika yang menulis sajak “Sunday in Flat B”. Terjemahan bebasnya kurang lebih begini: Aku berdoa kepada tuhan, dia tak mengabulkan/kuminta 911 iblis datang seketika. Sajak ini, seperti layaknya sajak Dian, mudah diingat karena punya akar kultur dan sejarah yang kuat.
Sajak yang “mengganggu” nyaris tak ada. Secara kebahasaan, gangguan kecil dapat kita baca pada sajak “Evolusi” (hal. 56). Di sini ada kata “yaitu” yang saya rasa janggal dalam kaitannya dengan sarana kepaduan puitis yang lainnya dalam sajak ini.

Epilog
Bagi saya, sebagai pengajar mata kuliah Menulis Kreatif Sastra di dua perguruan tinggi (FKIP Unlam dan STKIP PGRI) di Banjarmasin, yang di dalamnya juga mengajarkan cara menulis puisi, beberapa puisi Dian dalam buku ini termasuk yang dapat menjadi recommended poetry karena puisinya bukan sekadar mengindah-indahkan kata dengan asonansi, aliterasi, rima dalam, simile, metafora, dan pencitraan warna, suara, rasa, dan rupa, melainkan juga jelas mau bicara apa (kritik sosial, religiusitas, ungkapan cinta pribadi, dan lain-lain).
Ungkapan-ungkapan yang sangat personal dan tidak universal itulah yang membuat puisinya kuat dan punya jati diri meskipun sepenuhnya tak bisa dikatakan khas gaya Dian karena di dalamnya pula, pada puisi tertentu, dapat ditemukan adanya intertekstualitas dengan puisi (atau teks hipogram, teks acuan, teks inspirasi) lain yang mengisi ruang repertoar proses kreatifnya, misalnya, pengaruh Chairil Anwar, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, kisah-kisah para nabi, dan sebagainya.
Selanjutnya, pembacaan dan pembicaraan kritis (termasuk penelusuran jejak intertekstualitasnya) dapat dilanjutkan oleh pembaca lain untuk merayakan pemahaman dan penelusuran hikmah untuk keperluan kita masing-masing. Sungguh Dian bukan sekadar menulis puisi, generasi baru ini benar-benar terobsesi dan jatuh hati dengan puisi. Dia setia menyimpan jejak-jejak proses kreatifnya sebagaimana penyair-penyair Indonesia tempo dulu. PA adalah saripati dari segerobak kegelisahan obsesifnya terhadap puisi. Mungkin karena sebagai produk “obsesi” PA menampakkan berbagai gejala teks yang tak selalu punya penjelasan seperti ketakterkaitan gambar sampul serta judul dengan keseluruhan puisi dalam buku ini, dan ketakterkaitan antara sastra, sketsa, dan kata-kata mutiara di dalamnya. Namun, semua ini tetap mampu memberikan hikmah.

Loktabat Utara, 7/Agt./2008
Dimuat dalam buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan 2008-2011, hal. 53-58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar