Jumat, 29 Juni 2012

Serang Pemerintah Absurd dengan Pistol Air (Radar Banjarmasin, 19 April 2009)


Oleh Risnani 

(ininih yang bikin gw dapet nilai A di kritik sastra, wek wek wek)

Pertama kali menjumpai buku antologi puisi “Pistol Air” (PA) karya M. Nahdiansyah Abdi terbitan Tahura Media tahun 2008 ini, saya langsung terpana oleh judul dan covernya yang sangat unik. Pemandangan “Rumah Sakit Jiwa” yang terpampang pada latar cukup menggelitik, hal ini erat kaitannya dengan judul buku “parodi tentang orang yang ingin bunuh diri dengan pistol air”. Si penulis yang ternyata merupakan lulusan Fakultas Psikologi UGM ini,  mengemukakan pada bagian pendahuluan buku ini bahwa air yang menyembur dari pistol tersebut untuk menyimbolkan kegembiraan, kesegaran, pertumbuhan, inspirasi, harapan. Sungguh suatu keanehan yang membangun, toh manusia hidup di dunia memiliki keabnormalannya masing-masing.
Pada setiap akhir halaman banyak dihiasi oleh kehadiran kutipan-kutipan yang sifatnya religius. Dari pengantar yang diberikan oleh sang penulis, hal tersebut diadakan untuk menunjukkan kearifan lokal. Dan kearifan lokal yang dimaksud adalah Islam, karena persentase terbanyak masyarakat Banjarmasin beragama Islam. Sebagaimana awal penciptaan sastra yang juga bersifat religius (Mangunwijaya, 1988:11) dan menjadi media ekspresi pengalaman estetik dan mistik manusia dalam berhadapan dengan kekuatan ‘alam’ (natural) dan ilahi (supernatural).

Di antara tema religius yang mayoritas mengisi buku ini, saya memiliki ketertarikan terhadap sajak–sajak yang bertema politik. Mungkin karena waktunya yang bertepatan dengan pemilu. Karena pada dasarnya suatu karya sastra lahir secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrahms, 1981:178). Setelah beberapa dekade semenjak masa Orde Baru masih terdapat sisa-sisa kegoyahan politik tersebut yang membayangi dunia politik kita saat ini. Dan penulis menuangkan ide-ide tersebut dalam puisinya, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan cerminan dari kenyataan atau realitas kehidupan (Plato).
Ada dua buah judul sajak yang bermuatan politik yang langsung menarik perhatian saya, yaitu; “Kampanye” (PA, 2008:5), dan  “Rakyat” (PA, 2008:18).  Pada sajak “Kampanye” penulis banyak bermain dengan majas dipersonifikasi yaitu majas yang menjadikan benda-benda menjadi mati atau tidak bernyawa. Dapat dilihat pada; “di bawah guyuran lagu goyang dangdut” (bait pertama baris ketiga), “terperangkap dalam joged berjuta tahun” (bait kedua baris kedua), “pinggul-pinggul yang membatu” (bait ketiga baris pertama), “siulan-siulan yang purbawi” (bait ketiga baris kedua).
Lagu dangdut yang menggema seperti hujan yang mengguyur massa simpatisan kampanye, hujan keringat akibat bergoyang di bawah teriknya matahari. Joged yang dapat memerangkap orang seperti sel penjara, tidak dapat berhenti untuk bergoyang karena hentakan musik yang bertalu-talu. Yang lumayan menantang pemikiran saya adalah siulan-siulan yang bersifat purbawi yang dituliskan pada bait ketiga baris kedua. Menarik untuk dibahas seperti apakah siulan yang purbawi yang dimaksud penulis? Bagaimana bentuk siulan yang purbawi itu? Apakah sama seperti siulan pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan baris sebelumnya (“pinggul-pinggul yang membatu”) maka dapat ditemukan satu relasi siulan-siulan purbawi tersebut adalah celotehan janji-janji yang diberikan oleh para politisi. Dan di dalam janji-janji tersebut terdapat suatu bentuk kekuasaan yang mensugesti simpatisan kampanye. Pinggul yang mengeras seperti batu menggambarkan simpatisan yang tak mengerti arti dari kampanye yang hanya bisa membatu ketika mendengarkan celotehan janji-janji yang diujarkan oleh para politisi.
Dalam sajak “Kampanye” ini si penulis mengungkapkan ekspresi keheranannya terhadap kampanye di tanah air yang kerap kali dihiasi oleh atraksi artis-artis dangdut yang menggoyang massa dengan tarian-tarian, hal ini nampak jelas pada bait-bait berikut:
Heran, ada saja orang yang tahan
meracau berlama-lama
di bawah guyuran lagu goyang dangdut
Massa yang terlena di bawah panggung
Terperangkap dalam joged berjuta tahun
Massa di sini dapat dikatakan pula sebagai rakyat. Rakyat yang digambarkan oleh si penulis seperti pion catur dalam kancah dunia politik yang dikontrol oleh para kaum politikus untuk mendukung kekuasaan mereka. Hampir sama dengan sajak yang berjudul “Rakyat” (PA, 2008:18) yang juga menyinggung soal rakyat sebagai alat politik.
Namun berbeda dari sajak sebelumnya penulis lebih banyak bermain dengan metafora dalam puisi “Rakyat” ini, dapat dilihat pada bait berikut (bait ketiga):
Rakyat. Kuda tunggangan
Rakyat. Dicocok hidung
Rakyat rakyat rakyat. Binatang politik yang letoy
Mengapa oleh penulis rakyat diibaratkan seperti binatang? Layaknya kuda tunggangan, dan juga seperti sapi yang memiliki cincin dihidungnya. Cincin di sini diibaratkan seperti sebuah simbol kekuasaan. Cincin yang berupa lingkaran yang tidak berawal dan berujung, seperti itulah bentuk kekuasaan, tak memiliki awal dan juga tak dapat diakhiri. Karena kondisi rakyat yang pemikirannya tidak kritis dan mudah dipengaruhi, akibat pendidikan yang kurang, sama halnya seperti binatang yang tak berakal dan mudah dikendalikan.
Membahas rakyat memang absurb (bait keempat) karena tidak ada batasan untuk menentukan makna rakyat itu sendiri. Sebenarnya apa rakyat itu? Mengapa dinamakan rakyat? Ada beberapa kepentigan yang perlu diperhatikan dalam menentukan konsep rakyat. Saya sangsi para tokoh dunia politik kita dapat menjelaskan konsep “rakyat”. Kepentingan politis memegang peranan penting untuk menentukan kedudukan rakyat, yang oleh penulis rakyat digambarkan sebatas alat semata. Alat untuk mencapai kekuasaan.
Selain pembahasan mengenai makna “rakyat” itu sendiri, ada beberapa diksi yang menurut saya agak kurang pas pada sajak “Rakyat” ini, seperti penggunaan kata pada “asooy” (bait kedua baris pertama), “so pasti bikin …” (bait kedua baris kedua). Menurut saya hal tersebut mengurangi esensi keseriusan yang ingin ditunjukkan dalam puisi ini, terkesan bermain-main dengan trend bahasa gaul. Ada baiknya jikalau digantikan dengan kata seperti: “menggiurkan”, “layaknya obat-obatan terlarang yang membuat ketagihan”.
Mendalami kedua puisi M. Nahdiansyah Abdi ini memberikan pemahaman yang intens mengenai rakyat dan politik. Rakyat memang tak terpisahkan dengan dunia politik, karena semua berawal dari rakyat dan berakhir pada rakyat. Namun rakyat hanya alat yang bersuara namun tidak disuarakan, tameng kekuasaan yang tersengsara oleh kepicikan para pelaku politik. Mudah-mudahan para pelaku politik di tanah air lebih dapat memperhatikan nasib rakyatnya, bukan janji-janji, tapi bukti! Apalagi menjelang pemilu banyak tokoh politik memamerkan wajah lewat baliho di sepanjang jalan, akankah janji mereka yang dicetak tebal itu dapat terwujud? (rzk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar