Oleh
Risnani
Pertama kali menjumpai buku antologi puisi “Pistol
Air” (PA) karya M. Nahdiansyah Abdi terbitan Tahura Media tahun 2008 ini, saya
langsung terpana oleh judul dan covernya yang sangat unik. Pemandangan
“Rumah Sakit Jiwa” yang terpampang pada latar cukup menggelitik, hal ini erat
kaitannya dengan judul buku “parodi tentang orang yang ingin bunuh diri dengan
pistol air”. Si penulis yang ternyata merupakan lulusan Fakultas Psikologi UGM
ini, mengemukakan pada bagian pendahuluan buku ini bahwa air yang
menyembur dari pistol tersebut untuk menyimbolkan kegembiraan, kesegaran,
pertumbuhan, inspirasi, harapan. Sungguh suatu keanehan yang membangun, toh
manusia hidup di dunia memiliki keabnormalannya masing-masing.
Pada setiap akhir halaman banyak dihiasi oleh
kehadiran kutipan-kutipan yang sifatnya religius. Dari pengantar yang diberikan
oleh sang penulis, hal tersebut diadakan untuk menunjukkan kearifan lokal. Dan
kearifan lokal yang dimaksud adalah Islam, karena persentase terbanyak
masyarakat Banjarmasin beragama Islam. Sebagaimana awal penciptaan sastra yang
juga bersifat religius (Mangunwijaya, 1988:11) dan menjadi media ekspresi
pengalaman estetik dan mistik manusia dalam berhadapan dengan kekuatan ‘alam’ (natural)
dan ilahi (supernatural).
Di antara tema religius yang mayoritas mengisi
buku ini, saya memiliki ketertarikan terhadap sajak–sajak yang bertema politik.
Mungkin karena waktunya yang bertepatan dengan pemilu. Karena pada dasarnya
suatu karya sastra lahir secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan
sosial suatu periode tertentu (Abrahms, 1981:178). Setelah beberapa dekade
semenjak masa Orde Baru masih terdapat sisa-sisa kegoyahan politik tersebut
yang membayangi dunia politik kita saat ini. Dan penulis menuangkan ide-ide
tersebut dalam puisinya, karena pada hakekatnya karya sastra merupakan cerminan
dari kenyataan atau realitas kehidupan (Plato).
Ada dua buah judul sajak yang bermuatan politik
yang langsung menarik perhatian saya, yaitu; “Kampanye” (PA, 2008:5), dan
“Rakyat” (PA, 2008:18). Pada sajak “Kampanye” penulis banyak
bermain dengan majas dipersonifikasi yaitu majas yang menjadikan benda-benda
menjadi mati atau tidak bernyawa. Dapat dilihat pada; “di bawah guyuran lagu
goyang dangdut” (bait pertama baris ketiga), “terperangkap dalam joged berjuta
tahun” (bait kedua baris kedua), “pinggul-pinggul yang membatu” (bait ketiga
baris pertama), “siulan-siulan yang purbawi” (bait ketiga baris kedua).
Lagu dangdut yang menggema seperti hujan yang
mengguyur massa simpatisan kampanye, hujan keringat akibat bergoyang di bawah
teriknya matahari. Joged yang dapat memerangkap orang seperti sel penjara,
tidak dapat berhenti untuk bergoyang karena hentakan musik yang bertalu-talu.
Yang lumayan menantang pemikiran saya adalah siulan-siulan yang bersifat
purbawi yang dituliskan pada bait ketiga baris kedua. Menarik untuk dibahas
seperti apakah siulan yang purbawi yang dimaksud penulis? Bagaimana bentuk
siulan yang purbawi itu? Apakah sama seperti siulan pada umumnya. Apabila
dikaitkan dengan baris sebelumnya (“pinggul-pinggul yang membatu”) maka dapat
ditemukan satu relasi siulan-siulan purbawi tersebut adalah celotehan
janji-janji yang diberikan oleh para politisi. Dan di dalam janji-janji
tersebut terdapat suatu bentuk kekuasaan yang mensugesti simpatisan kampanye.
Pinggul yang mengeras seperti batu menggambarkan simpatisan yang tak mengerti
arti dari kampanye yang hanya bisa membatu ketika mendengarkan celotehan
janji-janji yang diujarkan oleh para politisi.
Dalam sajak “Kampanye” ini si penulis
mengungkapkan ekspresi keheranannya terhadap kampanye di tanah air yang kerap
kali dihiasi oleh atraksi artis-artis dangdut yang menggoyang massa dengan
tarian-tarian, hal ini nampak jelas pada bait-bait berikut:
Heran, ada saja orang yang tahanmeracau berlama-lama
di bawah guyuran lagu goyang dangdut
Massa yang terlena di bawah panggung
Terperangkap dalam joged berjuta tahun
Massa di sini dapat dikatakan pula sebagai rakyat.
Rakyat yang digambarkan oleh si penulis seperti pion catur dalam kancah dunia
politik yang dikontrol oleh para kaum politikus untuk mendukung kekuasaan
mereka. Hampir sama dengan sajak yang berjudul “Rakyat” (PA, 2008:18) yang juga
menyinggung soal rakyat sebagai alat politik.
Namun berbeda dari sajak sebelumnya penulis lebih
banyak bermain dengan metafora dalam puisi “Rakyat” ini, dapat dilihat pada
bait berikut (bait ketiga):
Rakyat. Kuda tungganganRakyat. Dicocok hidung
Rakyat rakyat rakyat. Binatang politik yang letoy
Mengapa oleh penulis rakyat diibaratkan seperti
binatang? Layaknya kuda tunggangan, dan juga seperti sapi yang memiliki cincin
dihidungnya. Cincin di sini diibaratkan seperti sebuah simbol kekuasaan. Cincin
yang berupa lingkaran yang tidak berawal dan berujung, seperti itulah bentuk
kekuasaan, tak memiliki awal dan juga tak dapat diakhiri. Karena kondisi rakyat
yang pemikirannya tidak kritis dan mudah dipengaruhi, akibat pendidikan yang
kurang, sama halnya seperti binatang yang tak berakal dan mudah dikendalikan.
Membahas rakyat memang absurb (bait keempat)
karena tidak ada batasan untuk menentukan makna rakyat itu sendiri. Sebenarnya
apa rakyat itu? Mengapa dinamakan rakyat? Ada beberapa kepentigan yang perlu
diperhatikan dalam menentukan konsep rakyat. Saya sangsi para tokoh dunia
politik kita dapat menjelaskan konsep “rakyat”. Kepentingan politis memegang
peranan penting untuk menentukan kedudukan rakyat, yang oleh penulis rakyat
digambarkan sebatas alat semata. Alat untuk mencapai kekuasaan.
Selain pembahasan mengenai makna “rakyat” itu
sendiri, ada beberapa diksi yang menurut saya agak kurang pas pada sajak
“Rakyat” ini, seperti penggunaan kata pada “asooy” (bait kedua baris pertama),
“so pasti bikin …” (bait kedua baris kedua). Menurut saya hal tersebut
mengurangi esensi keseriusan yang ingin ditunjukkan dalam puisi ini, terkesan
bermain-main dengan trend bahasa gaul. Ada baiknya jikalau digantikan
dengan kata seperti: “menggiurkan”, “layaknya obat-obatan terlarang yang
membuat ketagihan”.
Mendalami kedua puisi M. Nahdiansyah Abdi ini
memberikan pemahaman yang intens mengenai rakyat dan politik. Rakyat memang tak
terpisahkan dengan dunia politik, karena semua berawal dari rakyat dan berakhir
pada rakyat. Namun rakyat hanya alat yang bersuara namun tidak disuarakan,
tameng kekuasaan yang tersengsara oleh kepicikan para pelaku politik.
Mudah-mudahan para pelaku politik di tanah air lebih dapat memperhatikan nasib
rakyatnya, bukan janji-janji, tapi bukti! Apalagi menjelang pemilu banyak tokoh
politik memamerkan wajah lewat baliho di sepanjang jalan, akankah janji mereka
yang dicetak tebal itu dapat terwujud? (rzk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar